Potret Sinetron Remaja

Pointers berdasarkan temuan penelitian ‘Kekerasan, Seks, Mistik dan Moralitas dalam Sinetron Remaja Indonesia’ oleh tim Peneliti Dosen Fikom UPDM(B), disajikan dalam Diskusi Ilmiah “Selamatkan Masa Depan Anak Indonesia dengan Tayangan Televisi yang lebih bermutu, Kamis 23 Juli 2009 di Kampus Moestopo, Hang Lekir

1. Seluruh sinetron yang diteliti baik serial maupun lepas, total jam tayang/hari : 249 jam, rata-rata jam menonton televisi : 2,7 jam.

2. Dari penelitian ini terungkap banyak dimensi kekerasan dalam sinetron yang luput dari perhatian awam. Misalnya, pelaku kekerasan rupanya sebagian besar ada pada kelompok usia yang dini atau remaja. Bahkan, sebagian kecil juga ditemukan pada anak-anak. Ini jelas gejala yang patut memperoleh perhatian bersama.

3. Kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan psikologis . Umumnya kekerasan yang terjadi dilakukan berdasarkan faktor kesengajaan.

4. Secara gender, tokoh perempuan adalah yang paling banyak melakukan kekerasan dibanding laki laki. Korban dalam sinetron serial dan sinetron lepas yang diteliti lebih banyak tokoh perempuan. Yang paling banyak menunjukkan ekspresi kekerasan adalah tokoh perempuan, dengan bentuk ekspresi kekerasan yang paling dominan adalah verbal, walaupun tidak terlalu jauh berbeda dengan ekspresi kekerasan non verbal. Hal ini menunjukkan adanya kekerasan yang dilakukan oleh perempuan terhadap perempuan lainnya. Tokoh laki laki lebih banyak melakukan kekerasan bersifat fisik, sementara perempuan lebih banyak melakukan kekerasan psikologis.

5. Dilihat dari faktor usia, pelaku kekerasan lebih didominasi oleh remaja. Demikian pula korbannya. Sehingga mengindikasikan bahwa terdapat kekerasan yang dilakukan oleh remaja terhadap remaja lainnya. Dapat dikatakan bahwa muatan sinetron remaja 2008 yang diteliti tidak terlalu ramah bagi khalayak remaja kita. Muatan kekerasan cukup banyak mendominasi muatan cerita, ditambah dengan seks dan mistik. Ini adalah muatan-muatan yang disebut sebagai ”antisosial”. banyak kekerasan yang diteliti dalam sinetron remaja 2008 ber-setting keluarga; yakni dilakukan di lingkungan rumah. Ini berpotensi untuk menjadikan kekerasan sebagai sesuatu yang lumrah dilakukan dalam lingkungan keluarga (baik kekerasan psikologis atapun fisik). Hal ini berpotensi untuk “mengalamiahkan” terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

6. Karena sinetron yang diteliti banyak yang menampilkan kisah dari mulai pemerannya masih kanak-kanak hingga remaja, banyak pelaku kekerasan adalah anak-anak. Dalam hal ini anak-anak melakukan bentuk kekerasan yang sama seperti orang dewasa. Melalui temuan ini tampak bahwa anak menjadi seperti miniatur orang dewasa dalam melakukan kekerasan. Demikian pula perilaku yang terkait dengan seks pun banyak dilakukan oleh para pemeran anak-anak ini. Anak-anak dalam sinetron remaja terlihat cukup “matang” dalam hal pemahaman mengenai hubungan pria-wanita. Dalam usia yang masih kecil, anak-anak ini terlihat merasa “harus” memiliki pacar atau pasangan. Segala hal yang terkait dengan permasalahan orang dewasa, semacam intrik, cemburu, dan sebagainya dialami oleh anak-anak ini. Jadi, anak-anak dalam sinetron remaja ini tampaknya masuk ke alam kehidupan orang dewasa, karena permasalahan yang mereka hadapi tidak lagi khas anak-anak tetapi permasalahan di dunia remaja atau bahkan dewasa. Gaya pacaran kaum muda yang ditampilkan secara berlebihan dalam sinetron yang diteliti berpotensi menimbulkan pengaruh hingga ke tahap perilaku. Studi yang ada menunjukkan bahwa remaja merasa isi tayangan televisi yang terkait dengan seks adalah realistis dan ada korelasi antara jumlah tontonan program yang bermuatan yang seks dengan aktivitas seks yang dilakukan (Greenberg, Brown & Buerkel-Rothfuss, 1993: 5-18).

7. Temuan lain yang perlu dicatat adalah mengenai gambaran guru dan sekolah yang ditampilkan. Umumnya tokoh guru digambarkan sebagai tidak berwibawa, kadang karikatural, dilecehkan, bersikap galak sekali, dan tidak bijaksana. Ini tentu saja berpotensi menimbulkan masalah, karena dapat membentuk persepsi di benak khayalak muda tentang gambaran seorang guru. Kita tahu bahwa guru adalah tokoh yang penting dalam proses sosialisasi seorang anak. Jika anak terterpa gambaran yang demikian, maka bisa jadi potret tentang guru itulah yang melekat di benak anak. Dalam sinetron yang diteliti, sekolah ditampilkan hanya menjadi setting tempat melakukan kekerasan dan pacaran. Sinetron menampilkan sekolah bukan dalam fungsi yang seharusnya, yakni tempat belajar. Sekolah yang ditampilkan pun umumnya adalah sekolah untuk kelas sosial menengah ke atas. Umumnya anak atau remaja yang bersekolah adalah mereka yang datang dari kalangan berada: ke sekolah diantar kendaraan pribadi, ada sopir yang melayani, atau anak-anak tersebut membawa kendaraan sendiri (mobil atau motor). Temuan lainnya adalah cukup seringnya ditampilkan perilaku bullying di sekolah. Ini berkaitan dengan setting sekolah yang banyak ditampilkan dalam kisah sinetron yang diteliti. Karena mengambil setting sekolah,ditemukan kekerasan pun banyak dilakukan di sekolah.

8. Ada adegan bukan kekerasan, seks atau mistik yang tetap dipilah sebagai adegan tidak sesuai moralitas seperti pemakaian seragam sekolah yang tidak pantas (rok yang sangat pendek pada pemeran perempuan).

9. Di luar itu, ada juga adegan sesuai moralitas yang membuktikan bahwa sinetron remaja tetap memiliki nilai positif. Misalnya membela teman, menghormati orang tua dengan mencium tangan, dan berdoa bagi orang lain.

10. Kepentingan kapitalisme yang terdeteksi melalui pendewaan rating televisi masih ditemukan sebagai ideologi yang dijadikan landasan di dalam menciptakan mekanisme pembuatan sinetron.

Komentar