Aku perempuan, yang saat ini sedang menjalani les privat pada kehidupan untuk bisa berkata. Kata yang buat perempuan seperti aku, susah sekali untuk terucap. Entah mengapa kata itu kuanggap tabu dan jarang sekali kukatakan . Mulut ini terasa terkunci untuk berkata “Tidak ". Apakah dulu memang ayah ibuku lupa mengajarkan kata Tidak, atau dalam pelajaran Bahasa Indonesia aku lebih suka membaca “Budi dan Wati ke sekolah ” dibandingkan dengan “Budi dan Wati Tidak ke Sekolah”? Kata “Tidak” menjadi kata yang bersinonim dengan hal negatif di benakku, berkata Iya atau terdiam lebih mudah kulakukan untuk membuat orang lain senang dan tidak membuat mereka kecewa. Meski dalam hatiku ingin sekali berkata tidak. Aku tidak suka, aku tidak mau, aku tidak nyaman, aku tidak ingin hati ini kecewa, aku tidak punya waktu .
Di usiaku yang sudah lebih dari ¼ abad, ku tetap belajar bagaimana saya berkata Tidak. Banyak kejadian menjadi bencana buat diriku sendiri karena tidak mampu berkata “Tidak” atau menempatkan kata “Tidak” dengan tepat bukan karena perasaan yang tidak enak.
Dalam hidupku, bencana itu datang hanya karena tidak bisa berkata “TIDAK”. Aku tidak bisa berkata “Tidak” saat kedua orang tuaku menyuruhku untuk masuk ke sekolah sekretaris karena menurut mereka seorang perempuan lebih mudah berkarier untuk menjadi seorang Sekretaris. Iya ku, juga diperkuat dengan kebiasaan turun menurun di keluarga yang memasukan anak perempuan mereka ke akademi sekretaris yang isinya perempuan semua. Senyuman orangtua dan keluarga menjadi hiasan yang menyembunyikan jerit hati.
Akupun tidak bisa berkata “Tidak”, saat keluargaku menolak lelaki yang ingin melamarku atas dasar cinta. Aku hanya bisa menangis dan akhirnya tertunduk atas keinginan keluarga besar yang seolah-olah menyerangku dengan ajimat-ajimat sakti hingga ku tak bisa melawan. Dan lagi-lagi, nilai kebanggaan menjadi milik oranglain, sementara aku semakin terpedaya karena kata –kata perlawananku nyaris tidak terdengar. Sekali lagi kata “Tidak” terbungkam dan aku tidak memiliki hidupku.
Akupun tidak bisa berkata “Tidak”, saat laki-laki yang ku cintai ingin bercinta denganku. Aku ingin berkata “Tidak”, tapi ketika ku katakan tidak bisa, ia menuduhku “Ah…bohong …kamu jangan beralasan…” . Rasa kehilangan akan cintanya begitu besar hingga akupun menunduk dan patuh titahnya meski perih terasa. Ketika suatu pagi, kurasakan suatu yang berbeda dalam tubuhku…akupun mengirim sms kepada lelaki yang berbadan tegap itu, Hold Me Please… dan sesaat kemudian ada SMS dari “Bumpy” begitu aku biasa memanggilnya dan berkata “ Tidak bisa, nanti ada yang tersakiti …” . Aku terdiam, mudah sekali ia berkata “Tidak”, lupakah ia bagaimana saat mendekapku dan memberi hangat dalam diriku. Aku lalu membalasnya sms nya “Siapa?” singkat. Lalu dengan singkat pula ia menjawab “Kekasihku”.
Saat darah segar mengalir di kedua selangkaku di hari yang cerah. Aku tetap bungkam tak beraksi.Aku tak mampu menghentikannya. Darah segar itu tidak hanya sekali atau dua kali, membuatku tertegun saat membuka pakaian dalamku di toilet mewah kantorku. Semuanya seolah-olah beraksi bahwa inilah yang harus kujalani, bahkan bunyi tokekpun mengaminnya. Aku tak jua menjawab pertanyaan dalam diriku dan tubuhku, apakah ini yang ingin dijalani ?
Semua suara berbunyi bising bagai suara jalanan Jakarta di siang hari. Samar dan tidak lagi bisa kudengar suaraku sendiri untuk berkata “Tidak”. Aku berusaha keras untuk bisa berkata dan mendengarkan diriku sendiri. Terlalu banyak orang kukasihani hingga aku lupa mengasihani diriku sendiri. Tatapan mata dan ucapan manis membunuhku perlahan karena membuat mulutku semakin terkunci untuk kata “Tidak”.
Apakah aku ditakdirkan untuk tidak bisa berkata T-I-D-A-K ??? Berapa banyak lagi ku menyakiti diriku sendiri karena hanya bungkam dan menangguk pelan? Atau aku sudah addict dengan rasa sakit yang ku timbulkan sendiri ? Hingga rasa sakit menjadi pertanda aku hidup …
Iya, ambilah hidup saya…. Iya, ambilah jiwa saya... Iya, ambillah tubuh saya… Iya, ambilah semua barang yang saya miliki… Iya, saya akan pikirkan…. Iya, ambil pikiran saya… Iya, akan kulakukan yang kau mau… Iya, saya mau....ya…ya…ya….ya…
“Tidak” seolah menjadi kata tabu yang perlu dihindari.
Lalu cintaku kembali menyapaku, lelaki itu datang dengan harapan yang tak pernah ku lupa. Kata “TIDAK” menjadi terlupa meski percakapan mengenai dia, di suatu sore telah melabelkan kata “TIDAK” di jidatnya.
Dia ingin menyentuhku lagi. Aku hanya tertawa membaca pesan singkatnya, disuatu malam. Dengan bahasa yang tak kukenali, ia mencoba meraih rasa dalam diriku. Hingga ia memanggilku dengan ungkapan sayang. Mungkin ia berharap aku terlena dengan panggilan itu. Aku tak pernah suka dipanggil dengan sebutan itu karena aku punya nama, bagiku nama panggilan tersebut hanya berlaku kalau seseorang lupa atau tak tahu nama orang yang ia ajak bicara .
“Jangan memanggilku dengan panggilan itu,” jawabku singkat dalam sms. Tak lama kemudian ia menjawab, cuma kamu yang menolak kupanggil seperti itu, semua teman dan orang dikantorku asyik-asyik aja tuh…
Tatapan mata dan senyumannya terlintas dalam benak, dan dengan segera ku balas pesan singkatnya…
Aku tidak suka dan karena aku bukanlah konstruksi yang bisa kau bentuk…
Sent
Awal dan akan berlangsung lagi, aku menggunakan kata “Tidak”.
Membuat konstruksi atas diri, tubuh, jiwaku sendiri bukan untuk mu dan seorangpun.
(Untuk seseorang yang selalu bilang Iya )
Di usiaku yang sudah lebih dari ¼ abad, ku tetap belajar bagaimana saya berkata Tidak. Banyak kejadian menjadi bencana buat diriku sendiri karena tidak mampu berkata “Tidak” atau menempatkan kata “Tidak” dengan tepat bukan karena perasaan yang tidak enak.
Dalam hidupku, bencana itu datang hanya karena tidak bisa berkata “TIDAK”. Aku tidak bisa berkata “Tidak” saat kedua orang tuaku menyuruhku untuk masuk ke sekolah sekretaris karena menurut mereka seorang perempuan lebih mudah berkarier untuk menjadi seorang Sekretaris. Iya ku, juga diperkuat dengan kebiasaan turun menurun di keluarga yang memasukan anak perempuan mereka ke akademi sekretaris yang isinya perempuan semua. Senyuman orangtua dan keluarga menjadi hiasan yang menyembunyikan jerit hati.
Akupun tidak bisa berkata “Tidak”, saat keluargaku menolak lelaki yang ingin melamarku atas dasar cinta. Aku hanya bisa menangis dan akhirnya tertunduk atas keinginan keluarga besar yang seolah-olah menyerangku dengan ajimat-ajimat sakti hingga ku tak bisa melawan. Dan lagi-lagi, nilai kebanggaan menjadi milik oranglain, sementara aku semakin terpedaya karena kata –kata perlawananku nyaris tidak terdengar. Sekali lagi kata “Tidak” terbungkam dan aku tidak memiliki hidupku.
Akupun tidak bisa berkata “Tidak”, saat laki-laki yang ku cintai ingin bercinta denganku. Aku ingin berkata “Tidak”, tapi ketika ku katakan tidak bisa, ia menuduhku “Ah…bohong …kamu jangan beralasan…” . Rasa kehilangan akan cintanya begitu besar hingga akupun menunduk dan patuh titahnya meski perih terasa. Ketika suatu pagi, kurasakan suatu yang berbeda dalam tubuhku…akupun mengirim sms kepada lelaki yang berbadan tegap itu, Hold Me Please… dan sesaat kemudian ada SMS dari “Bumpy” begitu aku biasa memanggilnya dan berkata “ Tidak bisa, nanti ada yang tersakiti …” . Aku terdiam, mudah sekali ia berkata “Tidak”, lupakah ia bagaimana saat mendekapku dan memberi hangat dalam diriku. Aku lalu membalasnya sms nya “Siapa?” singkat. Lalu dengan singkat pula ia menjawab “Kekasihku”.
Saat darah segar mengalir di kedua selangkaku di hari yang cerah. Aku tetap bungkam tak beraksi.Aku tak mampu menghentikannya. Darah segar itu tidak hanya sekali atau dua kali, membuatku tertegun saat membuka pakaian dalamku di toilet mewah kantorku. Semuanya seolah-olah beraksi bahwa inilah yang harus kujalani, bahkan bunyi tokekpun mengaminnya. Aku tak jua menjawab pertanyaan dalam diriku dan tubuhku, apakah ini yang ingin dijalani ?
Semua suara berbunyi bising bagai suara jalanan Jakarta di siang hari. Samar dan tidak lagi bisa kudengar suaraku sendiri untuk berkata “Tidak”. Aku berusaha keras untuk bisa berkata dan mendengarkan diriku sendiri. Terlalu banyak orang kukasihani hingga aku lupa mengasihani diriku sendiri. Tatapan mata dan ucapan manis membunuhku perlahan karena membuat mulutku semakin terkunci untuk kata “Tidak”.
Apakah aku ditakdirkan untuk tidak bisa berkata T-I-D-A-K ??? Berapa banyak lagi ku menyakiti diriku sendiri karena hanya bungkam dan menangguk pelan? Atau aku sudah addict dengan rasa sakit yang ku timbulkan sendiri ? Hingga rasa sakit menjadi pertanda aku hidup …
Iya, ambilah hidup saya…. Iya, ambilah jiwa saya... Iya, ambillah tubuh saya… Iya, ambilah semua barang yang saya miliki… Iya, saya akan pikirkan…. Iya, ambil pikiran saya… Iya, akan kulakukan yang kau mau… Iya, saya mau....ya…ya…ya….ya…
“Tidak” seolah menjadi kata tabu yang perlu dihindari.
Lalu cintaku kembali menyapaku, lelaki itu datang dengan harapan yang tak pernah ku lupa. Kata “TIDAK” menjadi terlupa meski percakapan mengenai dia, di suatu sore telah melabelkan kata “TIDAK” di jidatnya.
Dia ingin menyentuhku lagi. Aku hanya tertawa membaca pesan singkatnya, disuatu malam. Dengan bahasa yang tak kukenali, ia mencoba meraih rasa dalam diriku. Hingga ia memanggilku dengan ungkapan sayang. Mungkin ia berharap aku terlena dengan panggilan itu. Aku tak pernah suka dipanggil dengan sebutan itu karena aku punya nama, bagiku nama panggilan tersebut hanya berlaku kalau seseorang lupa atau tak tahu nama orang yang ia ajak bicara .
“Jangan memanggilku dengan panggilan itu,” jawabku singkat dalam sms. Tak lama kemudian ia menjawab, cuma kamu yang menolak kupanggil seperti itu, semua teman dan orang dikantorku asyik-asyik aja tuh…
Tatapan mata dan senyumannya terlintas dalam benak, dan dengan segera ku balas pesan singkatnya…
Aku tidak suka dan karena aku bukanlah konstruksi yang bisa kau bentuk…
Sent
Awal dan akan berlangsung lagi, aku menggunakan kata “Tidak”.
Membuat konstruksi atas diri, tubuh, jiwaku sendiri bukan untuk mu dan seorangpun.
(Untuk seseorang yang selalu bilang Iya )
Komentar