25 April 2013 lalu, film 9 Autums 10 Summer di release dan di putar disejumlah bioskop di Indonesia. Film yang di adaptasi dari kisah nyata Iwan Setyawan ini menarik untuk di tonton. Sebelumnya saya sudah melihat trailer film yang diadopsi dari novel Iwan Setyawan yang berkisah dari perjalanan seorang anak supir angkot yang berhasil bekerja di Big Apple, New York. Film ini mengambil angle hubungan ayah dengan anak laki-lakinya, menarik untuk saya bahas sedikit melalui kacamata jender. Dalam salah satu scenenya, di gambarkan Iwan kecil di tuntut untuk menjadi laki-laki yang kuat dan tidak diperbolehkan untuk membantu ibunya di dapur serta harus mengerti mengenai peralatan-peralatan bengkel. Laki -laki harus berani dan kuat, gambaran itulah yang saya dapati dalam film tersebut.
Dari cerita ini terlihat ada perbedaan jender antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh lingkungan sosial terkecil dalam masyarakat yakni keluarga dalam memberikan pemahaman mengenai peran laki-laki dan perempuan. Ketidakadilan yang terjadi ini dapat melahirkan kesenjangan dalam pelbagai bidang, salah satunya dalam memperoleh pendidikan antara perempuan dan laki-laki.
Berdasarkan data dari Kemendikbud, jumlah buta aksara pada tahun 2011 di Indonesia dengan usia 15 -59 tahun sekitar 6,7 juta, laki-laki 2,26 juta dan perempuan 4, 46 juta. Dari jumlah ini terlihat, perempuan buta huruf jumlahnya hampir 2 kali lipat jumlah laki-laki buta huruf . Kemiskinan dan buta huruf semakin memarginalisasikan perempuan dalam ranah publik. Sudah semestinya pemberatasan buta huruf ini bukan hanya menjadi urusan bagi pemerintah saja, namun juga lembaga masyarakat dalam lingkungan terdekat memberikan pendidikan bagi kaum perempuan.
Pendidikan bagi kaum perempuan yang timpang ini juga menyebabkan minimnya keterlibatan perempuan dalam hal perkembangan ilmu dan teknologi. Selain persoalan tidak terpenuhinya pendidikan dasar bagi kaum perempuan, ada hambatan yang merupakan sebuah persoalan dari dalam maupun luar perempuan, yakni : (1) Proses sosialisai peran jender membuat perempuan merasa berkewajiban untuk memenuhi harapan budaya dan tradisi;(2) kesadaran akan posisi subordinat menyebabkan perempuan seringkali menjadi submisif (mengalah); (3) rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan perempuan kurang menaruh minat pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hambatan lainnya (1) Sistem nilai budaya dan pandangan keagamaan kurang mendukung. Pandangan stereotip jika perempuan tidak pantas untuk terjun dalam bidang ilmu dan pengetahuan, karena dalam keluarga laki-laki memiliki peran sebagai pencari nafkah; (2) Sistem pendidikan pra perguruan tinggi cenderung memperkuat ketimpangan jender dan streotipe peran gender;(3) Role Models, perempuan perempuan yang berkarir di bidang teknologi masih kurang ;(4) Diskriminasi dan sikap curiga laki-laki dalam pendidikan dna karier di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi; (5) Dukungan pemerintah bagi partisipasi perempuan dalam ilmu pengetahuan belum cukup (Granstam, 1998; Sudrajat, 1994 dalam Astuti, 2008:51-52).
Pemenuhan pendidikan dasar bagi perempuan yang tidak diskriminatif menjadi pondasi bagi pengentasan ketidakadilan jender dalam bidang pendidikan. Seperti yang dikatakan oleh tokoh perempuan Roehana Koeddoes (1884-1972), “Perempuan kalau bukan sebagai pemimpin, sebagai orang yang pandai.”
Komentar
With the newest location in the city, see all the details of the 정읍 출장안마 casino's casino. MapYRO 의정부 출장마사지 is a casino 의정부 출장안마 information service 김포 출장샵 offering complete information 군포 출장안마 about the gambling