Melihat sisi lain Krakatau

Krakatau, mendengar nama gunung yang meletus sekitar 130 tahun yang lalu ini, memang sempat membuat saya ciut untuk mengunjunginya. Gunung di selat Sunda ini, memiliki daya letusan 10.000 kali kekuatan bom atom Hirosima dan Nagasaki, meletus pada hari Senin, 27 Agustus 1883 dengan korban jiwa 35 ribu orang. Dahsyat letusannya menghilangkan 2 pulau di selat Sunda. Namun, tawaran perjalanan ke Krakatau ini tak mampu saya tolak meski hati sedikit ciut. Saya ikut bersama teman-teman dari Wanderlust untuk trip ke Gunung Anak Krakatau yang saat ini, aktif dan terus tumbuh. Kami berangkat dari Merak sekitar jam 12 malam, dan naik kapal Ferry menuju Pelabuhan Bakahueni. Kapal Ferry yang kami tumpangi kebetulan tampak nyaman, dengan beberapa kursi di ruang VIP yang cukup enak dijadikan sandaran untuk sekedar melepas lelah. Tiba di Bakahueni sekitar jam 3 pagi, kami beranjak dengan menggunakan angkot yang sudah di carter pihak Wanderlust menuju Dermaga Canti.Kurang lebih satu jam, kami tiba di Canti yang nampak masih sepi dari aktifitas. Selepas Subuh, kegiatan di Canti mulai terlihat. Warung-warung mulai bersiap menyediakan makanan kecil untuk para pengunjung Dermaga. Setelah menyantap mie instan kamipun beranjak menuju kapal motor yang akan mengantar kami ke Pulau Sebesi. Perjalanan laut dengan menggunakan kapal motor baru pertama kali saya alami, menegangkan sekaligus excited. Saya memilih untuk duduk di depan agar bisa melihat langsung perjalanan yang akan kami tempuh. Sesekali nampak ikan berloncatan dan seru sekali melihatnya.
Setelah 1,5 jam perjalanan akhirnya kami tiba di pulau Sebesi.
Di Pulau yang dihuni oleh penduduk asal Jasreng (Jawa Serang), kami memiliki misi untuk memberikan bantuan berupa buku-buku untuk perpustakaan di Sekolah setempat dan memberikan tutorial sederhana pengelolaan Perpustakaan. Ini yang membuat perjalanan ini berbeda, kita tidak hanya berwisata tapi juga mampu berbagi dengan masyarakat Pulau Sebesi. Perpustakaan sekolah yang nampak seadaanya ini, kami tambahkan dengan beberapa koleksi buku yang sengaja kami bawa. Pulau Sebesi memiliki keterbatasan akses informasi dan transportasi. Untuk penerangan saja, mereka hanya bisa menikmati listrik selama 6 jam, dari jam 18.00 hingga jam 24.00 WIB dan untuk telekomunikasi terbatas hanya untuk beberapa provider tertentu itupun daya jangkau yang terbatas. Kedatangan kami setidaknya mampu memberikan tambahan pengetahuan mengenai tata kelola perpustakaan dan membuat mading kepada siswa -siswi di Pulau Sebesi.
Misi di sekolah selesai, kamipun beranjak untuk menyapa ikan-ikan di laut. Yup, kami mau snorkling di sekitar Sabesi. Sayang, saat berangkat menuju lokasi saya mabuk laut dan tidak begitu menikmati kegiatan ini. Walaupun begitu saya sempat berfoto dengan bintang laut yang berwarna biru dan sebelum ke Sebesi kami sempat berkunjung ke Pulau Umang yang jaraknya sepandang mata dari Sebesi.
Setelah bersantap malam kamipun beranjak ke misi kedua yakni, mengajarkan percakapan dengan bahasa Inggris kepada guide dan beberapa anak muda di Pulau Sebesi. Bahasa Inggris dianggap penting untuk diajarkan karena beberapa guide ini sering berhadapan dengan turis asing . Kendala bahasa menjadi salah satu masalah yang timbul ketika para guide menjelaskan mengenai gunung Krakatau dan pulau Sebesi. Saya kagum, dengan keinginan mereka untuk belajar dan dengan tekun mempelajari percakapan-percakapan dengan bahasa Inggris. Meski hanya 2 jam belajar namun mereka nampak senang sudah mampu sedikit-sedikit bercakap-cakap dengan bahasa Inggris. Terasa sekali perbedaan pendidikan di Indonesia, terutama di pulau-pulau kecil. Meski jarak tidak terlalu jauh dari Jakarta namun perbedaan itu amat terasa kerana minimnya sarana dan prasarana. Melalui perjalanan ini, saya menyadari bahwa pendidikan yang masih timpang itu bukan saja urusan pemerintah tapi juga tugas dan kewajiban kita yang berilmu untuk berbagi pada mereka yang masih memerlukannya. Latar belakang peserta Wanderlust yang beragam menjadikan suasana berbagi ilmu menjadi semarak karena mereka sangat antusias dalam misi perjalanan ini. Pendidikan menjadi persoalan mendasar untuk membangun bangsa ini, dan dengan berbagi setahap demi setahap kita (anak muda dan kamu terdidik) harus ikut serta memberikan pencerahan. Di Perpustakaan di Sekolah tadi saya merinding, membaca karton yang bertuliskan "Mimpi Untuk Menaklukan Dunia". Di karton itu tertuliskan mimpi-mimpi anak Sebesi, tidak ada dinding pembatas untuk bermimpi. Bisa terwujudnya mimpi mereka, juga tanggung jawab kita.
Misi kedua kami selesai, dan kamipun beristirahat karena jam 3 pagi kami harus berangkat lagi ke Krakatau untuk melihat Sunrise. Kami menghabiskan subuh di kapal yang membawa ke Krakatau. Sungguh luarbiasa pemandangan sepanjang perjalanan ke Krakatau. Matahari nampak malu-malu beranjak, cahaya dari timur yang bernuansa jingga mempesona indra. Setelah hampir 1,5 jam perjalanan kamipun tiba di Krakatau.
Melihat Krakatau yang nampak anggun berdiri, saya terkesima. Tak menyangka, saya bisa menjejakkan kaki di Krakatau dan berdiri di puncaknya. Setelah puas melihat sisi Krakatau, kamipun beranjak pulang menuju Canti dan selanjutnya ke Bakahueni. Lelah menuju Krakatu terbayarkan oleh pemandangan yang luarbiasa. Pemandangan yang luar biasa indah, kehangatan warga Sebesi dan teman-teman baru menambah pengalaman jiwa. Dalam hati saya bercita-cita harus bisa keliling Indonesia dan memahami lagi tentang manusia di negeri ini. Karena itulah kekayaan sesungguhnya yang harus saya cari.

Komentar