Love at 35+

Love at 35+ 


Are you still living single at 35+ ? 
Isn't difficult to find the right person in this chaotic world ? 

Beberapa teman perempuan dan saya sendiri merasakan sulitnya mencari pasangan di saat usia beranjak 35+. Dengan  media sosial tak jua menyelesaikan persoalan percintaan, bahkan malah tambah bikin drama yangg tak seindah dongeng Disney. Karena di usia 35+, kami : 

1. Sudah menjadi penyelamat hidup sendiri. 
Kami memang bukan Cinderella yang berharap untuk diselamatkan oleh pangeran tampan dengan segala kesempurnaannya. Karena kamipun sudah bisa menyelamatkan diri sendiri tanpa bantuan siapapun. Hal ini terkadang menjadi hal yang dilematis, terutama dalam budaya patriarkhi yang menempatkan perempuan sebagai posisi yang lemah. Tidak jarang terdengar ucapan "Elu sih, terlalu mandiri !" Lah, kalau nggak cari nafkah sendiri, siapa yang mau beliin Onitsuka dan segala macam kebutuhan sandang, pangan dan papan ? Siapa ? Gubernur ?  

2. Harus Memilih Dengan Hati dan Logika.
"Elu sih, pilih -pilih ?" Hmm... Ya, Iyalah, di usia yang matang seperti ini, kami jadi lebih matang dalam menentukan pilihan. Pengalaman bercinta berkali-kali, menjadikan kami tak mau lagi jatuh ke dalam jebakan Batman. Menikah, komitmen seumur hidup yang harus dinegosiasikan sepanjang hidup dengan pasangan. Menikah karena cinta mati, bukan lagi impian yang mendayu-dayu buat kami. Kesadaran untuk bersama dan saling memiliki sepanjang hidup haruslah membuat kedua belah pihak nyaman, secara hati dan logika. Ribet ya ?realistis saja, karena setiap pagi mungkin kami akan menikmati bau kentut pasangan kami bak aroma Channel No. 5. Kadang ada pikiran untuk mengelabui diri dan menurunkan standard agar segera punya pasangan, dan hasilnya bencana... Been there, done that! Contohnya dulu pernah dekat dengan seseorang yang pengangguran dengan segala daya upaya akhirnya terpedaya hingga terkuras semua materi atas nama cinta. Hari gini, usaha bersama boleh saja, tapi jangan sampai ketipu sama pacar yang sukanya nilep duit dan membuat bangkrut. Atau ada juga cerita, laki-laki yang tiba-tiba jatuh cinta dalam hitungan sekejap dan saya dianggap penyelamat hidupnya. "Hi Sis... jangan bangga dulu, perlu ditelisik dia punya masalah apa di masa lalu sampai perlu diselamatkan, dan satu hal lagi elu bukan bidadari yang menyelamatkan Lala dari Bombom!" Setelah dipelajari, ternyata dia belum move on dari mantan pacarnya dan menjadikan saya sebagai politik balas dendamnya. 

3. Pantang Menyerah tapi tak mudah terlena. 
Kami memang belum menemukan pasangan tapi bukan berarti kami menyerah dan tidak mau mencoba. Setiap kali ada aplikasi perjodohan macam Tinder pernah dicoba, sok asik ngobrol di Line sampai akhirnya ketemuan di Cafe hits, pun pernah. Tapi maaf saja, kalau perempuan yang harus membayar minuman sampai pecel ayam pinggir jalan mendingan bye aja... Jujur, materi bukan segalanya tapi kami bukan cuma mencari yang hanya bermodalkan gombal rayu untuk merasakan geli-geli di perut. Dengan pengalaman yang kami miliki,  bisa mendeteksi harus menyimpan nomor kontak dia atau tidak. "When it feels right just go for it, if not better just chill !" 

4. Aktif di ranah Publik. 
Perempuan 35+, sudah tahu apa yang mereka inginkan, dengan bekal pengetahuannya dan kadang membuat takut para kaum Adam. Hal ini mungkin saja, karena dongeng yang selalu berkisah kalau perempuan ingin tahu banyak kisah maka ia akan berujung pada kematian, sementara kalau laki-laki mengejar pengetahuan maka dia akan menemukan dirinya. Banyak perempuan ditakuti karena ia memiliki pengetahuan atau lulus pendidikan tinggi, dengan alasan yang bersifat domestik. Kasur, sumur dan dapur bahan percakapan saat menjalin hubungan, beberapa kali saya harus menjawab pertanyaan "Bisa Masak?" Yang saya jawab dengan enteng "Ada Go-Food jangan kayak orang susah..." Kami rasanya tak pernah bertanya sama pasangan kami "Bisa ngecat rumah ?" atau "Membenarkan genteng ?" Kalau cari tukang masak atau cuci baju mah, mending tanya di Bu Gito.

6. Kerap didiskriminasi oleh Lingkungan Sosial. 
Dalam lingkungan sosial kami kerap didiskriminasi dengan pertanyaan "Sudah menikah ?" "Kapan Nikah ?" "Ayo, sudah mau habis 2017 Undangannya kapan ?" . Kami sering kali bengong,  saat semua berbicara mengenai anak-anak mereka di perkumpulan genk SMA dan kuliah. Menjadi Liyan, karena tak bersuami dan beranak. Dan ketika kami posting foto liburan, mereka berteriak "Asyik banget sik, jalan-jalan terus , gue mana bisa karena ngurus anak..." Disaat itulah, kami bingung gak punya suami salah, ngga punya anak apalagi, jalan-jalan pakai uang sendiri gak minta sama laki orang juga salah karena bikin iri. Apakah kami harus jualan korek api di pinggir jalan ? 

7. Cita-cita tak sebatas Cinta Melulu 

Di usia 35 + kami sadar tak banyak lagi pilihan seperti saat usia 21, yang bisa punya gebetan dengan inisial A - M. Tapi bukan berarti jadi Naif, semua usaha dan doa dikerahkan ke penjuru langit, dan sadar  bahwa manis gula-gula berpasangan mungkin saat ini belum dirasakan bisa membuat kami sepi . Tapi apa harus kami menyerah dan hanya bertumpu pada cita-cita memiliki pasangan ?

Komentar