Awalnya saya sedikit ragu untuk menuliskan tentang hal ini. Karena mungkin saja ada orang yang berpendapat saya ini tidak pernah lepas dari bayanng-bayang yang sudah lama menghilang 4 tahun lalu atau bilang kalau saya tidak menyadari kenyataan, karena saat ini hanya ada kekinian bukan lagi masa lalu yang diceritakan berulang-ulang atau diperpanjang ceritanya karena permintaan dengan alasan ratingnya masih tinggi seperti sinetron.
Saya hanya bercerita tentang sebuah kisah manusia yang dulu pernah merasakan segarnya udara pagi Jakarta. Dia saya temui di salah satu lorong tempat kami berkuliah. Sejak awal, saya memperhatikan gerak-geriknya yang nampaknya selalu berusaha menyapa orang yang melintas didepannya dengan ramah.
Tak disangka, perjalanan waktu akhirnya membuat saya belajar banyak darinya. Mulai dari bagaimana saya berbicara saat berhadapan dengan orang banyak. "Kalau mau berbicara, harus siap jangan ragu !" begitu katanya, ketika melihat saya ragu ketika ingin mengajukan pertanyaan di sebuah seminar tentang perempuan yang untuk pertama kalinya saya hadiri.
Cara pose saat di foto juga dikomentarinya, suatu kali dia datang menjemput saya yang menghadiri sebuah seminar tentang Gender. Tanpa sepengetahuan saya ia membeli sebuah foto jepretan sang tukang foto seminar. Dan berkomentar "Kalau mau difoto itu harus siap, kayak orang mati aja!". Saya terperangah dengan kata-katanya hmm...bisa aja niy orang dalam mengungkapkan ketidaksenangannya.
Saya adalah perempuan yang cenderung introvert, sering kali hanya mampu mencuatkan imajinasi dalam hati dan memendamnya dalam-dalam. Namun persahabatan yang terjalin ini terasa membuat lengkap hidup .
Sampai akhirnya hayatnya, dia tetap menggangu saya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang saya ingin lakukan di masa yang akan datang. Dengan bahasanya yang khas ia berseloroh "Jadi perempuan itu harus Tegar!". Simbolisasi sosok perempuan yang lemah ia ibaratkan bagai sekuntum bunga mawar yang meski memiliki duri, ia tak mampu melawan tangan yang ingin memetiknya. Saya haruslah menjadi singa betina yang bermata cerdik yang mampu melawan dari segala tantangan yang ada begitu tulisnya lewat surat yang senantiasa dia berikan meski kami hampir tiap minggu bisa bertemu. Banyak hal, dari mulai yang bernada sakartis hingga romantis terluncur dari benak dan celotehnya.
Lagi, lagi saya tegaskan tulisan ini bukan untuk mengharu birukan suasana akan kenangan itu. Justru saya, menjadikan ini sebagai pengalaman hidup saya yang memperkaya bab demi bab hidup saya. Saya tidak berkeinginan untuk membuatnya terulang kembali. Karena waktu yang diberikan kepada saya telah usai. Tamatnya cerita tersebut adalah peluang bagi saya untuk memaknai sari dari kehidupan. Bahwa akan setiap hari ada yang datang dan pergi. Memaknai bukan menangisi menjadi pilihan buat saya untuk menjalani kehidupan.
Terlalu banyak yang tertinggal dan terlewati, kalau saya hanya mampu meratapi kepergiannya yang mungkin bagi sebagian orang adalah kenestapaan. Toh, bukan kemuramdurjanaan yang saya raih tapi meletakkan bahagia diatas pelupuk mata jauh lebih baik.
Dia adalah phenomenom yang pernah ada untuk lingkungannya. Kalaupun sekelebat bayangnya masih ada itu merupakan aura semangat yang tak pernah padam untuk mencinta yang ada dihadapan kita saat ini, untuk berbagi dengan kekasih, sahabat dan keluarga, untuk membuat hidup lebih berarti dan senantiasa tegar menghadapi cobaan terhebat dalam hidup sekarang dan nanti.
Terus melaju dan berhias senyum bahagia ...
Komentar