Judul : Jurnalisme Bencana Bencana Jurnalisme Kesaksian dari Tanah Bencana
Pengarang : Ahmad Arif
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) kerjasama dengan Tembi, Tifa dan LSPP
Tahun terbit : April 2010;tebal xxiv +193 halaman
Bencana menjadi sahabat karib bagi 230 juta penduduk Indonesia, mulai dari gempa, letusan gunung berapi, banjir, longsor hingga tsunami. Hal ini dikarenakan letak geografis Indonesia yang berada diantara tiga lempeng tektonik dunia, lempeng hindia, lempeng eurosia dan lempeng pasifik, Sebagian besar wilayah Indonesia termasuk dalam daerah cincin api (rings of fire) yang merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia.
Meski Indonesia kerap kali terjadi bencana alam, namun minim sekali informasi dan pendidikan mengenai pengendalian bencana. Bencana tsunami di Nangroe Banda Aceh (2004) dan gempa di Daerah Istimewa Aceh (2005), yang mengakibatkan ratusan korban jiwa dan harta benda tidak membuat pemerintah dan masyarakat Indonesia waspada dan melakukan penanggulangan bencana. Pendidikan mengenai bencana alam juga diperlukan oleh para jurnalis, dalam melakukan peliputan bencana.
Peliputan bencana alam memiliki karakteristik tersendiri yang memerlukan pengetahuan reporter tentang situasi bencana yang terjadi dan pendekatan yang berpatokan pada nilai-nilai empati khususnya pada korban. Pola pemberitaan yang disajikan oleh TVOne dan Metro Tv pada saat terjadi bencana alam yang baru-baru saja terjadi di Wasior (Papua), Mentawai (Sumbar) dan Merapi ( DIY & Jateng), membuat kita terhenyak bagaimana pengetahuan para jurnalis mengenai bencana alam dan pola pendekatan terhadap korban sangat minim.
Bahkan TvOne sempat diusir oleh warga Yogyakarta karena pemberitaannya yang dinilai menyesatkan saat terjadi erupsi Merapi. Disebut-sebut reporter Tv One yang menyebutkan awan panas radiusnya mencapai kota Yogyakarta. Akibat pemberitaan tersebut, warga Yogyakarta panik dan mengakibatkan kekacauan saat evakuasi. Dalam jaringan sosial Twitter bahkan ada sejumlah warga yang menempelkan tulisan yang melarang Tv One untuk masuk ke wilayah mereka dan melakukan peneliputan mengenai Merapi. Karena dianggap menyesatkan, dan pola pendekatan terhadap korban bencana Merapi tidak mengedepankan empati kepada korban.
Pertanyaan seperti “Gimana perasaan ibu berpindah-pindah tempat pengungsian ?”
“Gimana perasaan bapak apabila putri bapak tidak ditemukan ?”
“Gimana perasaan bapak apabila putrid bapak ternyata tewas ?” Selalu menjadi pertanyaan pembuka untuk mengetahui keadaan korban meski dari ekspresi muka, pemirsa sudah mampu merasakan apa yang dirasakan oleh korban. Korban di posisikan lagi menjadi korban di media massa sebagai akibat dari pertanyaan yang menyudutkan. Ketidakmampuan reporter dalam menggali informasi dari korban akhirnya menjadikan bencana baru bagi si korban.
Dalam Bencana Jurnalisme, Bencana Jurnalisme, Andi Arif menggambarkan bagaimana posisi wartawan dalam memberitakan bencana saat terjadi bencana Tsunami di Aceh (2004). Dilema yang dirasakan antara ingin membantu korban dengan menuliskan berita (hal.85). Arus besar laporan media pada hari-hari pertama pasca bencana adalah demi melayani kepentingan masyarakat diluar tempat bencana dibandingkan kepentingan korban. Hal ini tidak dapat di pungkuri karena kepentingan berita hanya didasarkan pada laporan yang lengkap, menyentuh dan “laku dijual” sehingga meningkatkan rating dan share media tersebut. Selain itu juga keselamatan dan keamanan wartawan sering kali dinomor dua kan karena tuntutan deadline.
Dilema ini dirasakan para wartawan dalam meliput berita bencana karena tak jarang, tuntutan peringkat atau oplah membuat editor atau pemilik media kemudian memaksa wartawan membuat liputan eksklusif meski menantang maut (hal.18)
Gambaran media yang seperti ini, akhirnya tidak menyelesaikan permasalahan yang terjadi di daerah bencana, karena fokus media hanya terletak pada analisa ilmiah kejadian gempa dan tsunami, mereka-reka angka korban, skala kerusakan secara makro dan haru biru korban tapi tidak menyentuh mengenai pendistribusian kebutuhan logistik bagi korban.
Bercermin dari bencana Tsunami di Aceh pada tahun 2004 lalu media dinilai gagal untuk mendorong masyarakat untuk lebih waspada pada bencana yang terjadi dan melakukan perubahan.Memang banyak media telah berhasil mengajak khalayaknya untuk berpartisipasi dalam recovery daerah bencana dalam bentuk mengadakan aksi sosialnya namun dalam tidak mengungkap penyaluran dana ke daerah bencana. Kemandulan media-media di Indonesia juga terlihat dalam mengawal penyaluran bantuan dari masyarakat dunia yang jumlahnya mencapai Rp. 80 triliun untuk membangun Aceh pascatsunami. Media memang berperan besar menggugah bantuan ke Aceh, tetapi gagal mengawal penggunaanya(hal. 133). Apakah hal yang sama akan kembali terjadi pada bencana di Wasior, Mentawai dan Merapi ? semua ini berpulang pada media massa dalam melihat fokus berita, seperti yang kita tahu banyak berita yang akhirnya menguap begitu saja, dan terkubur karena munculnya berita-berita baru seperti kasus Gayus dan KPS.
Salah satu yang menjadi penyebab media tidak mampu untuk melakukan perubahan adalah lemahnya posisi tawar menawar media karena ketidakmampuan media dalam memperjuangkan posisi wartawan dalam melakukan peliputan di daerah bencana. Gambaran di lapangan di ungkapkan Ahmad Arief , “Di medan bencana saya menemukan retasnya daya dukung bisnis media dalam memperjuangkan kemandirian peliputan para wartawannya, sebagai salah satu penyebab lemahnya daya tawar media dalam mendorong perubahan. Dosa itu bernama jurnalisme mendompleng atau yang lebih keren embedded journalism “(hal.137).
Andi Arif menggunakan istilah embedded journalism untuk menggambarkan wartawan yang menembeng pihak lain baik itu tentara, organisasi non pemerintah, maupun pemerintah yang berwenang dalam melakukan peliputan didaerah bencana. Banyak kritik yang diajukan pada jurnalisme nebeng dalam peliputan perang namun masih sangat sedikit yang mengkritik embedded journalism atau jurnalisme menebeng yang dilakukan media saat melakukan peliputan bencana ataupun saat rekonstruksi pasca bencana.
Posisi sebagai wartawan dalam meliput bencana menyebabkan sulitnya wartawan untuk bersikap kritis dalam menuliskan beritanya. Seperti yang diungkapkan Ahmad Arief, “Bagaimana bisa wartawan penebeng mengkritik lembaga yang telah membiayai perjalananya, memberinya tumpangan tidur, bahkan juga sarapan, makan siang, hingga makan malam ? Beberapa lembaga pengundang bahkan memberikan uang saku.(hal.139)”
Selain itu Ahmad Arif juga mengkritik media yang sering kali mencecar pertanyaan yang hanya terfokus pada perasaan korban dan tidak mengindahkan rasa empati pada korban. Pemirsa seolah-olah sedang menyaksikan reality show yang mengharu biru karena sajian airmata di layar kaca . Tayangan televisi yang detik demi detik menyampaikan secara live on the spot terkadang tanpa proses penyensoran dan dengan vulgar menampilkan gelimpangan jenazah korban bencana alam. Korban menjadi korban media yang haus akan berita yang paling tragis untuk disajikan kepada pemirsanya. Ahmad Arif mengutip yang dikatakan Susan D. Moeller dalam Compassion Fatigue, 1999, yang mengatakan masyarakat saat ini jatuh pada sindrom compassion fatigue, bebal dan tak acuh terhadap berita bencana. Mereka tak lagi bersentuhan pada berita-berita tentang bencana. Ketika berita –berita menyedihkan itu terlalu sering dijejalkan ke mereka dengan vulgar, pada akhirnya masyarakat akan kehilangan kepeduliaan terhadap pemberitaan manusia di belahan dunia lain (hal. 140 -141).
Media massa merupakan cerminan dari berbagai macam kejadian di dunia namun apakah gambaran ini hanya mengacu pada perolehan rating dan perolehan belaka ? menjadi pertanyaan besar yang perlu dijawab oleh media. Dengan mudah media menggambarkan korban dan mencari korban baru untuk dieksplotasi karena dinilai seksi dan menarik untuk dijadikan objek.
Dalam bukunya Ahmad Arif juga mengungkapkan pola-pola pendekatan yang ia lakukan saat melakukan peliputan di NAD pasca terjadi tsunami. Salah satu korban tsunami, Nurleli pada awalnya menolak untuk di wawancarai karena letih di jadikan obyek berita. Dari pengalaman mewawancarai Nurleli, Ahmad Arif menyadari korban bencana bisa menjadi korban media jika wartawan di lapangan kehilangan rasa hormat kepada para narasumber dan hanya menganggap sebagai obyek peliputan (hal.144).
Penulis juga memaparkan banyaknya rekan seprofesinya yang berallih profesi menjadi pegawai di berbagai lembaga donor saat rekonstruksi Aceh demi peningkatan kesejahteraan. Yang sulit saya terima adalah bahwa sebagian besar wartawan yang bekerja BRR atau organisasi nonpemerintah ini juga masih mempertahankan statusnya sebagai wartawan. Sebagian bahkan masih menulis berita (hal.151) . Wartawan yang merangkap menjadi pekerja donor dapat menyebabkan berita yang ia tuliskan menjadi bias, hal ini yang menjadi keprihatinan Andi terhadap rekan-rekannya.
Bencana alam yang terjadi membuat media juga tergerak untuk mengalang dana bantuan dan menyalurkan ke korban. Seperti yang dilakukan Metro TV pada saaat bencana Tsunami Aceh dengan program Indonesia Menangis, hal serupa kini dilakukan juga oleh beberapa stasiun televisi seperti Tv One yang dalam tayangan Selamat Pagi Indonesia mewawancarai secara langsung penyumbang dan menyematkan pin sebagai tanda terima kasih Tv One kepada penyumbang. Mengutip Masduki seorang praktisi media yang juga dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, media memanfaatkan kredibilitasnya di benak khalayak untuk menjalankan peran sebagai distributor bantuan ( ini juga kesempatan bagi media memberitakan perannya mendistribusikan bantuan justruu di medianya sendiri), penyedia ruang iklan dukacita dan ruang bagi data korban penerima bantuan (hal. 154).
Ahmad Arief juga mencermati tumbuhnya media-media komunitas, sebagai akibat dari sempitnya informasi yang didapatkan korban. Jurnalisme warga atau citizen journalism menjadi jembatan bagi khalayak untuk mengetahui informasi tanpa batasan, media komunitas banyak tumbuh di dunia maya. “Jurnalisme partisipasif menghapus batas antara pihak yang terkena dampak dengan yang meliput berita,” Tim Porter dalam buku George D. Haddow dan Kim S. Haddow. “Dalam dunia digital dan komunikasi dua arah, kita semua adalah reporter” (hal. 160).
Tidak saja mengungkapkan mengenai kesan yang ia dapatkan dalam meliput bencana pasca tsunami Aceh, Ahmad Arief juga memberikan bekal bagi wartawan untuk terjun ke dalam situasi terburuk ( hal. 163 -170 ) . Seperti pentingnya wartawan untuk memiliki pemahaman mengenai lingkungan sekitar. Memiliki respons yang cepat ketika terjadi bencana dan sebelum terjadi bencana dengan memberikan pelatihan khusus bagi wartawan. Bagaimana wartawan mempersiapkan dirinya sebelum menuju tempat bencana, hal ini guna memudahkan wartawan menuju daerah bencana yang aksesnya terputus atau sulit untuk ditempuh. Membatasi diri menjadi penting bagi wartawan, karena sering kali menghiraukan keselamatan dirinya demi sebuah berita dan tidak menyadari trauma yang bisa saja ia alami sebagai akibat ketegangan saat meliput daerah bencana. Bagaimana melakukan rotasi, meliput korban dan menampilkan korban agar tidak menimbulkan trauma dan bagaimana media mengawali rekonstruksi di daerah bencana agar tidak menjadi “bencana kedua”.
Buku ini menarik untuk dijadikan referensi bagi dosen ilmu komunikasi dan mahasiswa konsentrasi jurnalistik karena memberikan pemaparan yang cukup mengenai kiprah wartawan dalam meliput bencana. Buku ini juga membuka wacana kita dalam melihat bencana di tampilkan dalam media, apakah media sudah benar-benar berpihak bagi kepentingan korban atau hanya bersandar pada kepentingan rating semata. Diharapkan dengan membaca buku ini, kita akan lebih mengenal dan mewaspadai bencana yang kerap terjadi di Indonesia.
Dan yang terpenting menjadikan jurnalisme bencana menjadi penggerak perubahan dalam mempersiapkan masyarakat menghadapi bencana dan tidak menjadikan berita menjadi ‘bencana’ baru hanya karena rating semata.
Komentar