Perspektif Teori Komunikasi


Genderlects
Istilah Genderlects berarti gaya percakapan maskulin dan feminine di pandang sebagai dialek dua budaya yang berbeda bukannya sebagai cara berbicara superior atau inferior.
Contoh kasus :
Aria dan Aline sedang dalam perjalanan mengendarai mobil, menu acara pernikahan salah satu kerabat mereka. Di tengah perjalanan mereka tersesat kehilangan arah menuju lokasi. Ketika Aline hendak menanyakan arah kepada pedagang rokok di pinggir jalan, Aria melarangnya karena dengan penuh keyakinan ia merasa dapat menemukan jalan menuju lokasi perkawinan. Aria mengatakan, kalau ia mengetahui jalan pintas menuju lokasi hingga Aline tidak perlu khawatir. Meski mereka sudah tiga kali berputar- putar di jalan yang sama, Contoh ini memberikan gambaran bahwa perempuan bertanya untuk membangun hubungan dengan yang lainnya sedangkan pria tidak akan meminta pertolongan karena akan menunjukkan ketidaktahuan mereka

Standpoint Theory
Kasus
Dina dan Wawan memiliki masalah dengan pekerjaan mereka, karena bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Wawan bercita- cita menjadi seorang wartawan, kini hanya bekerja di belakang meja sebagai tenaga riset di sebuah media massa, sedangkan Dina yang bercita-cita ingin menjadi creative director ternyata bekerja sebagai staf promosi di sebuah media massa cetak. Keduanya bertem dan terjalinlah percakapan di antara mereka.



Kemandirian
Wawan membicarakan tentang ketidakpuasanya dalam bekerja karena tidak sesuai dengan apa yang di cita-citakan. Baginya status pekerjaannya sekarang tidak sesuai dengan kemampuannya, karena ia merasa mampu untuk melakukan pekerjaan sebagai wartawan yang baik. Dalam pikirannya sebagai wartawan ia dapat bekerja lebih independen di bandingkan hanya menjadi tim riset.
Keakraban
Dina walaupun mengalami keadaan yang sama ( tidak sesuai dengan apa yang diinginkan ) namun lebih mengarah pada pola hubungan yang terbina dengan para kliennya. Ia merasa pada saat ini adalah yang terpenting membangun jaringan dengan berbagai pihak sehingga kelak dapat memudahkan dirinya untuk bekerja.


Strong Objectivity
Obyektifitas antara Wawan dan Dina walaupun mengalami masalah yang sama namun mereka mengungkapkan dengan cara yang berbeda di satu sisi Wawan mempermasalahkan kemandirian yang menurutnya dengan tercapainya keinginan sebagai wartawan maka nilai kemandirian dapat terlihat dibandingkan hanya sebagai tim riset. Sedangkan Dinam memiliki tingkat ketidakpuasan yang sama namun mempertimbangkan aspek jaringan yang ada dalam lingkungan kerjanya sekarang.

Face Negotiation

Teori ini meneliti cross cultural communication yang dilakukan personal oleh para negosiator. Teori ini menjelaskan bahwa tipe budaya akan menuntut pemeliharaan wajah (citra diri di depan publik ) yang berkaitan dengan harga diri dan rasa malu. Teori ini menjelaskan adanya perbedaan kultur untuk mengatasi masalah, karena setiap bangsa memiliki budaya yang berbeda sehingga pemeliharaan wajah yang berbeda.



Contoh kasus :
Tuan Fuji menjadi penengah ketika ada acara perselisihan antara ibu Reni dari Indonesia dengan tuan Emmo Italiandeer dari Italia. Tuan Emmo beberapa kali salah dalam melakukan penggambilan gambar di off shore dan melupakan code of conduct perusahaan ibu Reni dalam hal keselamatan kerja. Tuan Emmo, memotret pekerja tanpa menggunakan helm dan jaket pelindung sesuai dengan peraturan yang ada. Tuan Emmo, merasa kalau yang ia lakukan sesuai dengan peraturan,dan mengalami keterabatasan waktu. Sementara ibu Reni merasa sudah membayar tuan Emmo dengan harga yang sepantasnya untuk kualitas yang baik. Tuan Fuji, mencoba untuk mengakomodasi permasalahan tersebut dengan menawarkan fasilitas transportasi yang cepat untuk tuan Emmo untuk mengambil gambar ulang di lokasi off-shore.Ibu Reni akhirnya menyetujui dan mengkompromikan solusi yang ditawarkan oleh tuan Emmo dengan memberikan tegat waktu di luar kesepakatan awal, guna memperoleh hasil yang sesuai .
Speech Code Theory
Philipsen membaca sebuah artikel yang di keluarkan oleh ahli antropologi dan bahasa Virginia Dell Hymes, “The Ethnography of Speaking”. Dengan kode bicara, Philipsen mengacu pada pengaruh “latar belakang, konstruksi sistem sosialm arti, pendapat, dan peraturanm yang berhubungan dengan aturan komunikatif”.
Contoh kasus :
Windy yang berasal dari Padang memilii gaya bicara yang berbeda dengan Nana yang berasal dari Yogyakarta.
Hal yang membedakan kode bicara :
1. Proposisi I : Dimanapun ada perbedaan budayam maka akan ditemukan perbedaan kode bicara.
Windy yang berasal dari suku Minangkabau selalu berbicara dengan keterbukaan sedangkan Nana selalu bicara dengan menggunakan hati –hati dan disesuaikan dengan status lawan bicaranya. Tata krama dalam budaya Jawa berbicara dengan ‘unggah-ungguh’ yang biasanya tidak berbicara dengan terus terang menggenai hal yang kurang berkenan dengan lawan bicaranya.

2. Proposisi 2 : Subtansi kode bicara
Kode bicara di pengaruhi oleh perbedaan psikologis sosiologi dan gaya bicara dalam kulutural budaya. Hal ini dapat diilustrasikan dengan tiga fungsi dalam kehidupan sosial.


- Psikologis
Windy saat komunikasi berlangsung dalam lingkungan keluarga, ia tidak ragu dalam mengungkapkan pendapatnya. Karena dalam budaya Minangkabau, menganut sistem Matriarkhi yang memungkin perempuan untuk mengutarakan pendapatnya. Sedangkan dalam budaya Jawa, menganut budaya patriarki yang membuatnya tidak berani dalam mengutarakan pendapatnya.

- Sosiologis
Menunjukkan suatu hubungan antara kita dengan orang lain. Budaya Minangkabau cenderung lebih terbuka dalam berkomunikasi bahkan tidak jarang untuk memberikan komentar terhadap tindakan orang tuanya secara terbuka. Budaya Jawa, dalam berkomunikasi terkadang cenderung lebih tertutup terutama dalam melakukan koreksi terhadap kesalahan oranng lain.

- Retorik
Nana : membicarakan tentang perempuan yang merefleksikan hubungannya dengan laki-laki
Windy : Membicarakan perempuan sebagai sosok ang individual.

Proposisi III
Makna dari pembicara tergatung dari kode bicara yang digunakan oleh komunikator dan komunikan untuk menginpretasikan komunikasi mereka. Budaya Minangkabau menggunakan kode sebagai pengakuan diri meski mereka juga menjunjung tinggi kebersamaan mereka. Bagi budaya Jawa, penggunaan bahasa memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan status sosial mereka di masyarakat.
Proposisi IV :
Budaya Minangkabau terbuka dan melihat seseorang tidak berdasarkan asal, ras maupun kasta, hal ini juga berpengaruh dari pola kebiasaan masyarakat Minang yang terbiasa merantau sehingga dengan mudah mereka beradaptasi dengan lingkungan sekitar mereka. Sedangkan budaya Jawa, memiliki idion “mangan ora mangan sing penting ngumpul” di mana sistem komunikasi mereka cenderung berdasarkan sistem yang sudah mereka ciptakan untuk kalangan mereka sendiri walaupun tidak menutup kemungkinan untuk membuka diri, namun mereka memiliki sistem komunikasi tersendiri yang melihat seseorang berdasarkan asal –usul mereka.

Proposisi V:
Kegunaan kode bicara merupakan kondisi yang utama untuk memperkirakan, menerangkan dan mengkontrol bentuk intelegentibiltas, kebijakasanaan dan tata moral komunikasi.Kode bicara Sumatera Barat sering kali menggunakan bahasa kiasan atau menggunakan bahasa pantun sedangkan budaya Jawa memiliki tingkat bahasa yang tergantung situasi dan kondisi komunikasi tersebut dilakukan.

Komentar