Media dan Jender




Media merupakan salah satu instrumen dalam membentuk kesadaran jender dalam masyarakat. Konstruksi perempuan dan laki-laki dapat disebarluaskan dalam media baik itu melalui tulisan maupun gambar-gambar yang tersaji dalam media.

Peran jender perempuan sering kali di sudutkan dan hanya berkutat dalam persoalan-persoalan domestik saja. Jender adalah pembagian peran serta tanggung jawab baik lelaki maupun perempuan yang ditetapkan masyarakat maupun budaya. Misalnya keyakinan bahwa lelaki itu kuat, kasar dan rasional, sedangka perempuan lemah, lembut dan emosional. Hal ini bukanlah ketentuan kodrat Tuhan melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah yang panjang. Pembagian peran, sifat, maupun watak perempuan dan lelaki dapat dipertukarkan, berubah dari masa ke masa, dari tempat dan adat satu ke yang lain dan dari kelas kaya ke kelas miskin. Jender memang bukan kodrat dan ketentuan Tuhan, melainkan buatan manusia, buatan masyarakat atau konstruksi sosial (Apa Itu Gender, ILO,1999 hal. 14).

Lebih lanjut menurut Davies, jender merupakan properti struktural masyarakat yang muncul dan dikondisikan oleh aksi-aksi atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh anggota-anggotanya. Setiap anggota masyarakat senantiasa ikut serta dalam penggunaan sekaligus pembentukan pengetahuan serta definisi mengenai seks dan gender yang kemudian hidup dan menjadi kepercayaan bersama (1989:13).Piranti sosial yang membentuk jaringan diskursus tersebut secara simultan dikontrol,diseleksi, dikelola dan disebarluaskan oleh sejumlah prosedur yang berpihak kepada power sang penguasa. (Fiske dalam Gilbert, 1991:7). Dalam pengertian Foucault, power atau kekuasaan biasa dimengerti sebagai kekuatan yang melarang membatasi atau menekan bukan hanya tubuh fisis melainkan pikiran, kesadaran dan kehendak individu yang tersebar dalam tubuh masyarakat.
...in<span style="font-style:italic;"> every society the production of discourse is at ince controlled, selected, organised and distributed by certain number of procedures whose role is to ward offits power and dangers, to gain mastery over its chance event, to evade its ponderous, formidable materiality. (Foucault dalam Rice 1989:221).

Truth ‘ atau kebenaran dalam pengertian ini, dengan demikian, harus dipahami sebagai sistem prosedur- prosedur yang teratur bagi produksi, pengaturan, distribusi, sirkulasi dan operasi-operasi pernyataan-pernyataan. ‘Kebenaran ‘ akan senantiasa dihubungkan dalam relasi sirkular dengan sistem-sistem kuasa yang mennghasilkan dan mempertahankannya, dan dihubungkan pada efek-efek kekuasaan yang mempengaruhi dan meluaskannya; apa yang oleh Foucault kemudian disebut sebagai suatu rezim ‘kebenaran’ (Foucault dalam Hardiyanta, 1997:11). Konsep Jender yang diiterima oleh masyarakat dan disebarluaskan ditentukan oleh kekuatan sang penguasa. Di lingkungan masyarakat yang patriarkis, dapat dipastikan bahwa posisi penguasa didominasi secara luas oleh kaum laki-laki, yang dalam menyebarluaskan serta menginstruksikan ideologi atau pengetahuannya, baik secara sadar maupun tidak sadar, cenderung untuk berpihak kepada subjektivitasnya sendiri. Dalam masyarakat kapitalis yang disupport oleh dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan, tugas biologis domestik perempuan sebagai pengurus anak dan rumah tangga cenderung dikukuhkan dan dilestarikan sebagai ‘kebenaran’ karena keinginan kuat laki-laki untuk menguasai hampir seluruh wilayah public spherenya.

Perempuan di media massa seringkali masih memperlihatkan stereotipe yang merugikan : perempuan pasif, bergantung pada pria, didominasi, menerima keputusan yang dibuat oleh pria dan terutama melihat dirinya hanya sebagai obyek yang bersifat seksual. Sejarah tubuh perempuan menurut Yasraf Amir Piliang (1998), dalam ekonomi politik kapitalisme adalah bentuk pemenjaraannya sebagai tanda atau fragmen-fragmen tanda. Kapitalisme ‘membebaskan’ tubuh perempuan dari ‘tanda-tanda’ dan ‘indentitas tradisionalnya (tabu,etiket,adata, moral, spiritual) dan memenjarakannya didalam ‘hutan rimba tanda-tanda’ yang diciptakannya sendiri sebagai bagian dari ekonomi politik kapitalisme. Fungsi tubuh telah bergeser dari fungsi organis/biologis/reproduktif kearah fungsi ekonomi politik, khususnya fungsi ‘tanda’. Ekonomi kapitalisme mutakhir telah berubah ke arah penggunaan ‘tubuh’ dan ‘hasrat’ sebagai titik sentral komoditi, yang disebut dengan ‘ekonomi libido’. Tubuh menjadi bagian dari semiotika komoditi kapitalisme, yang diperjualbelikan tanda, makna dan hasratnya.

Media menjadi arena pertarungan bagi tanda-tanda maskulin di wilayah yang dominan dan tanda-tanda feminim pada posisi yang marjinal. Perjuangan hegemoni kekuasaan tercermin dari perjuangan memperebutkakn ‘hegemoni tanda’ didalam media itu sendiri, khususnya ‘hegemoni gender’(Analisis Teks Wacana, Alex Sobur 38-39, 2001).
Menurut Dennis McQuail (Mass Communication Theories 2000:66) yang dikutip dari (Jurnal ISKI No. 6/ November 2001), ada enam perspektif dalam hal melihat peran media.

Pertama, melihat media massa sebagai window on events and experience. Media dipandang sebagai jendela yang memungkinka khalayak “melihat” apa yang sedang terjadi diluar sana. Atau media merupakan sarana belajar untuk mengetahui berbagai peristiwa.
Kedua, media juga sering dianggap sebagai a mirror of events in society and the world, implying a faithful reflection. Cermin berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan didunia, yang merefleksikan apa adanya.
Ketiga memandang media sebagai filter atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak.
Keempat, media massa acapkali pula dipandang sebagai guide, penunjuk jalan atau interpreter, yang menerjemahkan dan menunjukkan arah atas berbagai ketidakpastian, atau alternatif yang beragam.

Kelima, melihat media massa sebagai forum untuk mempresentasikan berbagai informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkinkan terjadinya tanggapan dan umpan balik.

Keenam, media massa sebagai interlocutor yag tidak hanya sekedar tempat berlalu lalang informasi, tetappi juga partner komunikasi yang interaktif. Berdasarkan peran media massa tersebut, maka media memiliki peran yang penting dalam mengkonstruksi peran gender perempuan.

Rosemary Thong dalam Feminist Through A Comprehensive Introduction menunjukkan, beberapa perspektif feminis yang berkembang didunia antara lain :feminis liberal, feminis Marxis, feminis radikal, feminis psikologis, feminis sosial, feminis eksistensialis dan feminis modern. Feminis liberal, memberikan penekanan pada terjadinya subordinasi perempuan di masyarakat. Hal ini disebabkan oleh adanya hambatan hukum dan adat yang menghalangi perempuan untuk masuk dalam lingkungan publik.
Feminis marxis berpendapat bahwa ketertinggalan perempuan bukan disebabkan olej tindakan individu yang disengaja, melainkan akibat dari struktur sosial, politik dan ekonomi yang berkaitan erat dengan sistem kapitalis.
Feminis radikal, lebih memberikan perhatian pada permasalahan reproduksi dan seksualitas kaum perempuan . Asumsi yang dibangun adalah bahwa patriarki, yaitu sistem kekuasaan dalam keluarga dan masyarakat yang lebih memberikan posisi dominan pada laki-laki, menyebabkan keterbelakangan perempuan. Oleh karena itu sistem patriarki tidak saja harus dirombak tetapi juga harus dicabut dari akarnya.

Feminisme psikoanalisis bertitik awal dari teori Freud yang menyatakakn seksualitas merupakan unsur krusial dalam pengembangan relasi gender. Menurut Freud, seksualitas perempuan dan lelaki berbeda, perbedaan ini berakar pada psikis mereka yang disebabkan perbedaan biologis.

Feminis Sosialis, memandang kapitalisme dan patriarki merupakan ideologi yang menyebabkan terjadinya penindasan terhadap perempuan. Perspektif feminis sosial memandang media sebagai instrumen dalam menyampaikan stereotipe, patriakal dan nilai-nilai hegemoni mengenai perempuan dan feminitas. Media berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial, menurut perspektif ini media menampilkan kapitalisme dan skema patriarki yang dianggap sebagai sistem yang paling menarik dan tersedia.

Atas dasar berbagai ketidakadilan terhadap perempuan yang selalu digugat oleh kaum feminis, perlu kesetaraan gender dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk media massa harus berprespektif gender dalam menyebarluaskan pemberitaannya.
Menurut Nur Imam Subono, jurnalisme berprespektif gender dapat diartikan : Sebagai kegiatan atau praktik jurnalistik yang selalu menginformasikan atau bahkan mempermasalahkan dan mengugat secara terus menerus, baik dalam media cetak (seperti dalam majalah, surat kabar, dan tabloid) maupun media elektronik (seperti dalam televisi dan radio) adanya hubungan yang tidak setara atau ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan. Pentingnya jurnalis dan institusi media yang mempunyai sensitif yang tinggi dalam permasalahan perempuan, dan untuk menghasilkan jurnalisme yang berperspektif gender, sepertinya profesional media massa harus bekerja keras. Setidaknya ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan para pelaku media massa, yaitu :
Pertama, kemampuan profesional, etika dan perspektif pelaku media massa terhadap permasalahan gender masih rendah. Akibatnya hasil penyiaran belum sepenuhnya mampu mengangkat permasalahan perempuan pada arus utama (mainstream). Penumbuhan rasa empati terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan, merupakan salah satu jalan bagi media untuk bertindak fair, proposional serta berimbang dalam memberitakan kasus-kasus yang melibatkan perempuan.
Kedua, media massa belum mampu melepaska diri dari perannya sebagai medium ekonomi kekuasaan baik yang datang dari penguasa, otoritas intelektual, ideologi politik, ataupun pemilik modal. Media massa yang seharusnya menjadi watchdog bagi kekuasaan, justru terjerumus menjadi pelestari kekuasaan hanya karena lemahya kemampuan profesional dan etika media massa. Akibatnya perempuan akhirnya menjadi korban dari aroganisme pelanggengan kekuasaan.
Ketiga, kurangnya peran aktif dan representasi perempuan dalam media massa menjadikan perempuan sulit untuk keluar dari posisi keterpurukannya saat ini. Debra Yatim mengungkapkan bahwa media massa Indonesia dikuasai oleh budaya patriarki dan kapitalisme dengan dominasi laki-laki didalamnya. Media seharusnya meningkatkan jumlah praktisi perempuan serta menempatkan perempuan tidak lagi sebagai objek namun berperan aktif sebagai subjek.
Keempat, perlu pengubahan paradigma pada media massa berkaitan dengan pencitraan perempuan yang selama ini dipakai. Pencitraan perempuan dalam media, yang selama ini cenderung seksis, objek iklan,dan ratu dalam ruang publik, perlu diperluas wacananya menjadi perempuan yang mampu menjadi subjek dan mampu menjalankan peran-peran publik dalam ruang publik.

Dalam menjalankan fungsinya sehari-hari, media setidaknya mempertimbangkan kepentingan praktis ataupun strategis perempuan. Terbentuknya pemahaman perspektif gender diharapkan tidak saja akan mengubah cara pandang masyarakat dalam menghadapi keberadaan kaum perempuan, namun juga diharapkan mampu menepis pandangan negatif yang cenderung diskriminatif dan berbias gender.

Dalam Aksi Deklarasi Beijing, menunjukkan bahwa peran media massa menjadi sangat strategis untuk membantu perempuan lepas dari ketertindasan selama ini. Media massa mampu menjadi kekuatan positif untuk mengangkat harkat dan status hukum perempuan dalam relasi gender. Hanya saja perlu diwaspadai, karena pada peluang yang sama media massa bisa sekaligus berubah menjadi virus yang justru semakin memperburuk posisi perempuan.

Kemampuan ini perlu di dukung oleh SDM yang berkecimpung dalam dunia media massa yang memiliki pemahaman mengenai peran jender dan mampu membawa virus mengenai kesetaraan jender antara laki-laki dan perempuan.

Komentar