Konsentrasi Media Massa dan Melemahnya Demokrasi

Bursa calon Ketua Umum Golkar Oktober 2009 dimulai, diantara calon-calon tersebut ada nama Abu Rizal Bakrie dan Surya Paloh. Perebutan simpati kedua konstentan ini menjadi hal yang menarik untuk diamati karena mereka berdua sama-sama memiliki jaringan media. Surya Paloh dengan Media Group yang membawahi sejumlah media seperti Metro TV, Media Indonesia, Lampung Post dan Borneo Post sedangkan Abu Rizal Bakrie juga memiliki jaringan media TV – One, Star antv dan Viva News .

Langkah dua kandidat ini semakin seru dan menarik diamati, karena masing –masing kandidat ini menggunakan jaringan media yang mereka miliki guna membuat opini dengan frame yang mereka inginkan. Aburizal yang dianggap bertanggung jawab kasus Lapindo Brantas menjadi bahan perdebatan di kedua media tersebut dengan menggunakan perspektif yang berbeda sesuai dengan paham yang dianut kedua media tersebut.

Dalam perspektif Metro Tv yang diangkat adalah sisi korban Lapindo yang sampai saat ini belum juga mendapatkan penggantian yang sesuai dan terkesan terlantar karena pihak Lapindo Brantas dan Aburizal terkesan tidak peduli dengan apa yang terjadi disana. Sedangkan dari TV-One secara live dihadirkan Aburizal Bakrie yang berusaha membuat opini terbaik tentang dirinya termasuk dalam penyelesaian kasus Lapindo Brantas. Baginya kasus ini bukanlah tanggungjawab yang harus dipertenggungjawabkan, namun karena perintah dari sang bunda, ia mencoba untuk menyelesaikan masalah ini dengan kemampuan yang di miliki. Statement ini, sekaligus petuah agar generasi muda selalu patuh pada nasehat dan perintah orang tua.

Contoh diatas, merupakan salah satu bukti dari konsentrasi kepemilikan media oleh orang –orang yang berkuasa akan menjadi demokrasi stagan. Arus informasi yang seharusnya menjadi milik masyarakat menjadi komoditas pesan demi kepentingan pihak penguasa atau pemilik media massa.

Konsentrasi Pemilikan
Sementara itu, pusat industri media dunia sebagai penyebar budaya global, benar-benar semakin menjadi alat kapitalisme. Media massa sebagai produsen budaya, dewasa ini lebih berperan sebagai mesin bisnis pencari keuntungan. Peter Goldinig dan Graham Murdoch(2000;71) penah mengatakan “ media as a political and economic vehicle, tend to be controlled by conglomerates and media barons who are becoming fewer in number but through acquistion, controlled the larger part of the world’s mass media and mass communication.”

Konsentrasi media global tentu saja akan mengurangi bobot peran media dalam proses demokrasi, maupun representasi keragaman publik media sebagaimana secara panjang lebar dibahas oleh Robert W Mc Chesney dalam bukunya “ Rich Media Poor Democracy”, yang ditulis tahun 2000. Kuatnya media massa dipengaruhi oleh kekuatan kapitalis dan kecenderungan itu berlaku diseluruh indonesia. Pada dasarnya karakteristik pengusaha pemilik holdings media, atau sering dikenal dengan the mogul, dimanapun mempunyai kecenderungan yang sama. Yaitu senantiasa berupaya memperbesar jaringan usahanya, kemudian mengakumulasi keuntungan dan modal itu untuk kepentingan mereka, yang pada akhirnya sering bertentangan dengan tuntutan keadilan dan demokrasi.
Kecenderungan struktur industri media di dunia, khususnya di Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir ini menurut David Croteau dan William Hoynes (2001;73) mengalamai empat macam perkembangan, yaitu :
1. Growth ( pertumbuhan ) yang pesat
2. Integration (integrasi)
3. Globalization
4. Concentration of ownership




Rich Media Poor Democracy

Croteau dan Hoynes (2001, 21), mengkritik bahwa ketika media betul-betul mengikuti mekanisme pasar, maka jelas-jelas menjadi semakin jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. Bahkan, dikatakannya “the more money you have, the more influence you have in the market place. “

James Curran, profesor komunikasi dari University of London, dalam Rethinking Media and Democaracy (2000;121-154), menunjukkan efek negatif yang lain dari konsep free market. Menurutnya dengan liberalisme, justru telah mendorong media melakukan korupsi dan bias mekanisme pasar. Peran media sebagai watchdog terhadap kekuasaan, ternyata tidaklah memunculkan sikap independensi yang semata-mata melayani kepentingan publik, melainkan lebih untuk kepentingan perusahaan. Menurut Curran, liberalisme justru menghambat freedom to publish. Menciptakan kondisi media sebagai industri yang besar yang membutuhkan modal amat tinggi, sehingga yang mampu mengelola hanya kalangan elite. Pasar bebas juga telah mereduksi perputaran informasi publik, dan meningkatkan jumlah masyarakat yang tidak well informed. Banyaknya porsi pemberitaan human interest yang meminggirkan liputan public affairs akan mengurangi bobot demokrasi, sebab kontrol terhadap public affair semakin elitis, keterlibatan masyarakat menjadi semakin kecil, padahal salah satu prasyarat demokrasi adalah partisipasi publik.

Menurut Croteau (2001), media massa sekarang menempatkan public atau audience semata-mata dilihat sebagai konsumen bukan warga negara (citizens). Tujuan media sekarang adalah generate profits for owners and stockholders. Kemudian mendorong khalayak untuk enjoy themselves view ads, and buy product. Karena itu apa yang dianggap menarik bagi publik oleh media, adalah apapun yang populer di masyarakat. Dengan demikian tujuan ideal media untuk promote active citizenship via information, education and social integration tenggelam dengan komersialisasi dan liberal. Jadinya ukuran keberhasilan media semata-mata adalah profit, bukan serving the public interest.akibatnya keadaan sekarang ini publik mengalami apa yang disebut oleh Herbert J. Gans (2003:15) sebagai political disempowerment.

Konsentrasi Kepemilikan Media di Indonesia

Konsentrasi kepemilikan media di Indonesia saat ini dimiliki oleh beberapa perusahaan media besar seperti contohnya; Media Nusantara Corporation (MNC) yang saat ini memiliki tiga jaringan televisi nasional. Awalnya PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) didirikan dan dimiliki oleh Bambang Trihatmodjo (putra mantan Presiden Soeharto), PT Global Informasi Bermutu (Global TV) PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang awalnya juga didirikan oleh Siti Hardiyati Rukmana (mbak Tutut) dan untuk jaringan berlangganan PT MNC Skyvision (Indovision), dan harian nasional PT Media Nusantara Informasi (Koran SINDO), divisi tabloid (Genie, Mom & Kiddie, Trust Magazine, Realita) jaringan radio (Trijaya, Radio Dangdut TPI, ARH Global, Women Radio), okezone.com, PT. Star Media Nusantara, dan manajemen artist. Women Radio. MNC yang kini digaungi oleh Hary Tanoesoedibjo ini menjadi perusahaan media terbesar di Indonesia saat ini. Tidak jauh berbeda dengan MNC, Trans Corp yang dimiliki oleh Para Grup yang dipimpin oleh Chairul Tanjung juga memiliki dua buah stasiun televisi yakni Trans TV dan Trans 7. MRA (Mugi Rekso Abadi), yang didirikan oleh tiga sekawan Sutikno Soedardjo, Adiguna Sutowo dan Dian M. Soedardjo ini mengarap bisnis yang berhubungan dengan lifestyle dan hiburan. Dengan bendera MRA mereka menaungi 5 divisi yaitu makanan dan minuman food and beverages (Haagen Dazs, Hard Rock Café Jakarta dan Bali), Media yang diantaranya jaringan Radio Networks(Hard Rock FM Jakarta, Bandung, Surabaya dan Bali, I-Radio Jakarta, Yogyakarta dan Bandung, Trax FM Jakarta dan Semarang), jaringan media cetak yang merupakan media-media yang dibeli yang merupakan majalah franchise ( Cosmopolitan, Trax, FHM, Cosmogirl, Autocar, Mothers and Baby,Esquire, Harpers Bazaar, Baravass, HairIdeas, Good Housekeeping, Fitness, Target Car), jaringan otomotif (Harley Davidson & Ferrari Maserati), Gaya hidup dan hiburan ( Bang & Olufsen, BVlgari, dan Vision Home Entertaiment) Hotel ( BVlgari Resort & Hotels) dan satu jaringan televisi lokal O Channel yang akhirnya di beli oleh SCTV . Sementara Mahaka Group yang dimiliki Erick Thohir (Jak FM, Gen FM dan Harian Republika) , bersama dengan Anindya Bakrie (Antv ) dan Presiden Recapital Rosan P. Rosani sepakat untuk membeli PT. Lativi yang awalnya dimiliki oleh Abdul Latief (Mantan Menteri Tenaga Kerja era Orde Baru ) .

Fenomena kepemilikan media yang berada dalam satu jaringan yang besar di Indonesia, disatu sisi akan memudahkan penyebaran informasi kepada masyarakat tapi juga menimbulkan kecenderungan penyeragaman arus informasi dan komunikasi. Istilah siapa yang menguasai informasi akan menguasai dunia dipahami oleh para penguasa media karena dengan penguasaan informasi dengan mudah mereka dapat membentuk opini tentang hal yang ingin mereka sampaikan. Dengan tujuan kekuasaan media saat ini, dijadikan salah satu corong untuk mengarahkan perhatian masyarakat terhadap isu-isu tertentu yang mereka inginkan.

Contohnya adalah dalam perebutan jabatan Ketua Umum Golkar antara Surya Paloh dan Abu Rizal Bakrie, yang sedang berlangsung saat ini. Lapindo dijadikan sebuah konsumsi arena perebutan opini bukan dijadikan sebuah masalah yang harus diselesaikan dengan segera.

Seperti yang sudah dijelaskan diatas bagaimana kasus Lapindo ditayangkan dalam acara di Metro Tv dan TVONE. Dalam program acara unggulan Metro Tv, Kick Andy ditampilkan para kesaksian para korban Lapindo. Dalam tayangan yang berdurasi 90 menit atau 1,5 jam tersebut, diungkapkan keadilan yang belum didapatkan oleh para korban lumpur Lapindo. Sejak 29 Mei 2006, memang belum ada penyelesaian yang tuntas mengenai bencana ini. Padahal kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan teknik pengeboran ini, telah menggenangi duabelas desa di tiga kecamatan. Semula hanya dengan ketinggian 6 meter kini telah semakin meluas. Tidak kurang 10.426 unit rumah telah terendam lumpur dan 77 unit tempat ibadah terendam lumpur. Bukan hanya kerugian secara materi tapi juga sosial. Meski tidak ada korban jiwa sebagai akibat dari semburan lumpur ini, namun jalinan sosial masyarakat Porong yang sudah terjalin sejak lama menjadi terputus.

Bahkan tampaknya terjadi tarik ulur antara pemerintah dan PT. Lapindo untuk menyelesaikan masalah ini, hingga tak jelas ujung pangkalnya. Sebelumnya di TV One, budayawan Emha Ainun Najib melakukan kampanye bahwa pihak Bakrie justru menjadi “pahlawan” bagi korban Lapindo. Ditambahlagi ada program acara di TVONE dengan narasumber utama Aburizal Bakrie yang secara terang-terangan meminta dukungan terhadap pencalonnya sebagai Ketua Umum Golkar dan mengatakan bahwa Lapindo bukanlah tanggung jawabnya. Dalam acara ini, juga disebutkan keberhasilannya yang dalam pemikiran penulis, memang sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai Menko Kesra untuk bisa mensejahterakan rakyatnya. Pada tanggal 25 September 2009 dalam berita malam TVOne, diberitakan mengenai kesuksesan keluarga Bakrie dalam membantu korban Lapindo. Dalam berita tersebut juga ditampilkan sejumlah narasumber yang menyatakan bahwa Bakrie justru banyak membantu para korban Lapindo walaupun secara hukum merupakan bencana alam. Tapi putusan pengadilan tetap dinilai tidak adil dan penuh dengan kepentingan pihak-pihak tertentu. Dalam tayangan tersebut juga diperlihatkan rumah-rumah warga yang katanya bantuan dari pihak Bakrie. Tidak kalah dahsyatnya adalah tanggapan para korban Lapindo yang menyatakan bahwa kehidupannya menjadi lebih baik dibandingakan sebelumnya.

Isu ini menjadi bola panas yang dilansir oleh kedua media dengan perspektif pemikiran yang berbeda namun bukan untuk membela hak-hak rakyat tapi untuk membela kepentingan yang berkuasa. Dan yang membuat semakin parah adalah konsentrasi kepemilikan media oleh pihak-pihak tertentu yang mengakibatkan keragaman informasi menjadi milik orang –orang tertentu dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Berita dilansir hanya untuk kepentingan, ditulis dan memiliki sudut pandang yang disukai bahkan tidak jarang akhirnya berita yang harusnya dapat dikomsumsi oleh masyarakat berdasarkan prinsip kejujuran dan keadilan akhirnya dibelokkan maknanya karena dianggap tidak sesuai dengan subyektifitas dari pemilik media. Kebebasan untuk mendapatkan informasi dan menyalurkan informasi pada era reformasi turut menumbuhkan berdirinya perusahaan media meski mengalami pasang surut. Namun pertumbuhan media di Indonesia pada era reformasi setidaknya memberikan pilihan bagi masyarkat untuk memilih informasi seperti apa yang diinginkan dan seperti apa yang dibutuhkan.

Bahkan tak jarang berita yang dilansir hanya untuk kepentingan citra seseorang yang menjadi salah satu penguasa media tersebut. Dan mereka menggunakan kekuatan media yang mereka miliki dan melakukan penyeragaman berita. Bisa dibayangkan kalau saja, ada seorang pemilik media yang melakukan tindak kejahatan, bukan hal yang tidak mungkin kalau ada pengaburan berita atau bahkan terkesan memeti eskan kasus yang sedang terjadi karena menyangkut kepentingan orang yang berada dalam lingkaran media tersebut.

Media massa di takutkan dapat menjadi mesin kapital yang menguntungkan bagi orang-orang tertentu. Hal ini diperparah dengan tidak kuatnya lembaga hukum yang menangani secara legal hukum. Karena dianggap sebagai alat yang berkuasa dalam menyampaikan opini dan mengarahkan opini tersebut sekaligus mesin penggeruk keuntungan, para pemodal juga melakukan diverfikasi media.

Hal inilah yang kemudian ditangkap oleh para pemilik media untuk melakukan diversifikasi media, sesuai dengan kebutuhan khalayak dibawah satu kepemilikan. Disatu sisi, kebutuhan khalayak akan informasi terpenuhi ada kecenderungan informasi yang diberikan memiliki platform yang sama sesuai dengan pola komunikasi seperti apa yang pemilik ingin sampaikan meskipun dengan menggunakan media yang berbeda.

Seperti apa yang dikatakan Croteau (2001), media massa sekarang menempatkan public atau audience semata-mata dilihat sebagai konsumen bukan warga negara. Persaingan antar media bukan lagi menempatkan informasi sebagai salah satu tanggungjawab mereka untuk disampaikan kepada masyarakat sebagai public yang memiliki hak untuk mengetahui dan mengkritisi inforomasi tersebut. Tapi menjadikan informasi tersebut menjadi komoditas yang mengiring public terhadap keinginan pemilik ataupun pihak sponsor tertentu. Hal ini tentu saja mengarah pada keinginan pihak pemilik untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Bukan demi kepentingan public atau audience dalam pemenuhan informasinya.

Kritikus dan editor, Sam Lipski mengatakan media telah menjadi elite kekuasaan baru. Dia mengatakan wartawan tidak lagi menjadi kelas empat. Mereka merupakan kelas Baru. “Media ingin melihat diri mereka sebagai anjing penjaga. Tetapi sekarang ini mereka tumbuh menjadi anjing yang sangat besar dan sangat kuat, dan meskipun demikian, di mana pengawasan dan keseimbangan berada ? mereka sangat tidak berkembang, sangat embrio dan dalam banyak kasus, sangat tidak berguna sehingga ada perasaan kegelisahan yang berkembang ini “( Kelly, 1995, dalam Macnamara, 1999:5).

Informasi ada apabila ada pihak sponsor yang akan membantu jalannya penyebaran informasi di sebuah media. Memang hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa untuk membuat sebuah media dibutuhkan kemampuan secara financial untuk operasionalisasinya. Dan hal inilah yang menjadikan informasi dapat di tumpangi oleh keinginan pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Dengan informasi yang diberikan khalayak justru digiring ke pola-pola yang ditentukan oleh penguasa media. Seperti pola hidup konsumtif yang diinformasikan lewat iklan maupun informasi advertorial yang mereka tawarkan. Informasi yang dirancang semenarik mungkin memungkin khalayak mengikuti apa yang mereka lihat, dengar dan baca. Media juga turut membantu untuk membuat seolah-olah apabila khalayak tidak memiliki barang tersebut maka mereka akan secara social mereka tidak mengikuti perkembangan dunia. Dan menjadikan hal tersebut suatu trends yang harus diikuti oleh semua khalayak. Media yang seharusnya menekankan para khalayaknya untuk berhati-hati dalam mengkonsumsi suatu produk justru mendorong khalayak yang tidak memiliki pilihan tersendiri, kecuali apa yang mereka tampilkan dalam tayangan iklan mereka. Dengan dalih tanpa iklan media tidak dapat menjalankan operasionalisasinya, khalayak dianggap menjadi public yang tidak mempunyai pilihan dan media yang memilihkan untuk khalayak dari mulai kebutuhan sehari-hari hingga masa depan mereka.

Konsentrasi kepemilikan media dalam satu kepemilikan juga memiliki kecenderungan dalam pengaturan arus informasi seragam.
Secara politik media massa memiliki pengaruh besar dalam pembentukan opini. Dengan adanya kepemilikan media dibawah satu kepemilikan maka arus informasi yang mengarah pada arus kekuasaan dapat saja dibuat dengan bahasa yang berbeda tergantung dari segmentasi masing-masing media. Penyebaran informasi bermuara pada satu kepentingan tertentu akan mematikan daya kritis media terhadap pihak berkuasa. Terlebih apabila kepemilikan media tersebut sudah mengikat kontrak politik pada pihak-pihak tertentu yang terjadi adalah media menjadi corong politik. Mematikan kebebasan untuk berpendapat dan mengarahkan public pada opini yang menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Matinya demokrasi dan kebebasan berpendapat sebagai akibat dari konsentrasi kepemilikan media akan mengakibatkan kebuntuan daya kritis yang seharusnya ditumbuhkan media massa sebagai pilar keempat dalam pembangunan.

Pilihan amat sangat tergantung pada pembaca dalam menilai pemberitaan yang dilansir oleh jaringan media tersebut. Pembaca dituntut untuk selangkah lebih kritis dalam mengkomsumsi berita. Karena bukan suatu hal yang mustahil jika berita tersebut diarahkan sesuai dengan kepentingan orang yang berada dibelakang layar media. Alih-alih bukan khalayak menjadi tahu akan kebenaran dengan prinsip keadilan dan kejujuran yang berpihak kepada masyarat tapi justru diberikan “kebenaran” ala pemilik media. Parahnya lagi, konsentrasi media dengan berbagai diverfikasi ini akan mengakibatkan khalayak dikepung oleh informasi sebatas kepentingan si pemilik modal.

Konsentrasi kepemilikan media haruslah diimbangi dengan tingkat pengetahuan masyarakat yang semakin meningkat. Guna mengcounter pemberitaan yang hanya digunakan sebagai alat. Bukan suatu hal yang mudah bagi khalayak untuk mencermati konflik kepentingan yang ada dibalik suatu pemberitaan. Namun ini, dipercaya dapat memberikan perspektif yang berbeda hingga tidak mudah dibodohi dan wacana keberpihakan kepada khalayak benar-benar dilaksanakan dengan prinsip demi kepentingan rakyat banyak bukan pemilik modal.

Para jurnalis juga diharapkan mampu untuk memberikan informasi-informasi yang berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan untuk masyarakat. Keberpihakan kepada rakyat banyak harus ditanamkan secara mendasar agar para jurnalis tidak terlibat dalam konflik kekuasaan yang akhirnya menghancurkan prinsip-prinsip jurnalisme sendiri.

*Sebuah catatan dari materi kuliah umum

Komentar