Sosial Media dan Saya


Suatu hari saya mengunjungi seorang teman, ditengah pembicaraan saya bertanya keteman saya. “Twitter itu apa sih ?” karena pada saat itu banyak pemberitaan tentang artis-artis Hollywood yang menggunakan twitter sebagai salah satu cara mereka untuk menyapa para fans mereka di dunia maya.
Tidak lama kemudian teman saya, membuka account twitternya dan menyuruh saya untuk membuat account twitter. Ia juga sempat menerangkan ke saya bagaimana cara menggunakannya dan invite orang-orang di twitter. Pada saat itu, pengguna twitter belum sebanyak sekarang, dan saya hanya menginvite beberapa orang yang saya kenal saja. Akhirnya bulan Juli 2009, saya membuat account twitter. Awalnya masih belum ngeh, bagaimana cara menggunakannya sampai ada kejadian yang mengegerkan warga twitter. Karena ada salah satu sutradara film yang menjanjikan akan melakukan salah satu aksi “bahaya” di sebuah toko kelontong modern kalau followers nya di twitter mencapai angka 5000 followers.
Twitter merupakan salah satu sarana microblogging yang hanya terdiri dari 140 karakter. Setelah demam facebook dan blogger, twiiter menjadi sarana yang menarik bagi social media addicted. Secara keseluruhan 15 % persen tweets berasal dari Indonesia setelah Brazil dan Amerika. Untuk account twitter pada January 2011 ada 4.883.228 . Dengan frekuensi terpadat pada hari Kamis dan kemudian disusul pada hari Sabtu dan Minggu. Tweets terbanyak mengenai bola dan tv program.
Twitter dan Perubahan Sosial
Melalui twitter tercipta sebuah gerakan moral dengan #kamitidaktakut saat terjadi bom Hotel Marriot dan Hotel Ritz Carlton di bilangan Kuningan. Dari kejadian tersebut, saya baru menyadari twitter bisa menjadi social movement di Indonesia. Arus komunikasi yang berlangsung di dunia maya tidak menjadi lantas sebuah gerakan “maya” dalam dunia real. Pada saat aksi perseteruan Cicak vs Buaya di bundaran HI lalu, juga tidak terlepas dari peran sosial media dalam meng-influence para tweeps dan facebooker.
Salah satu aksi nyata lagi kembali terulang ketika ada seorang Prita Mulyasari yang menuliskan curahan hatinya ke beberapa temannya menyebar dan berakhir di meja hijau. Email yang berisi curahan hatinya mengenai pelayanan di rumah sakit Omni Internasional, menyebar di sejumlah sosial media dan mengakibatkan ia dituduh mencemarkan nama baik RS Omni Internasional. Kasusnya di bawa ke meja hijau dan menyebabkan Prita di tindak Pidana karena dinilai telah melakukan pencemaran nama baik terhadap RS maupun para dokternya. Dan gugatan perdata karena dianggap telah merugikan secara moral dan material RS tersebut. Setelah melewati beberapa kali sidang Prita digugat untuk membayar ganti rugi 204 juta kepada RS Omni. Tergerak untuk membantu Prita yang menderita ketidakadilan hukum, para komunitas bloggers bertindak.
Dengan ide mengumpulkan koin hingga mencapai 204 juta, gerakan ini tidak disangka-sangka disambut oleh berbagai kalangan masyarakat. #koinkeadilan menjadi petanda di twitter banyaknya dukungan terhadap gerakan ini.
Tidak berhenti sampai disitu saja, sosial media telah menjadi ruang bagi suara-suara yang selama ini tidak terdengar dan menghasilkan solusi bagi beberapa kasus. Bencana meletusnya gunung Merapi, Oktober lalu membuktikan lagi, media sosial menjadi salah satu arus komunikasi yang dapat mempersatukan masyarakat. #jalinmerapi dan @jalinmerapi menjadi salah satu sumber informasi bagi masyarakat mengenai keadaan para pengungsi dan kebutuhan apa yang mereka butuhkan. Menurut pendapat Agus Sudibyo, yang dikutip dari harian Kompas (11 Februari 2001) , “Media sosial menjadi sarana munculnya kearifan khalayak yang mampu memecahkan masalah atau membuat keputusan lebih baik daripada yang mampu dihasilkan segelintir elite. “




Bersosial tidak hanya melalui kata-kata tapi juga tindakan nyata. Tanpa tindakan nyata gerakan di media sosial hanya akan menjadi angin lalu dan mudah dilupakan orang karena setiap hari sosial media menghadirkan pelbagai persoalan yang dihadapi baik oleh personal maupun sosial masyarakat.
Melalui media pribadi secara tidak langsung mempengaruhi masyarakat. Jika komunikasi lisan menciptkan budaya komunitas dan komunikais tulisan menciptakan sebuah budaya kelas, maka komunikasi elektronik menciptakan sebuah budaya “sel “ atau kelompok yang saling bersaing untuk mempromosikan ketertarikan mereka. Muncul masyarakat baru yang tidak terikat oleh tempat. Politik ketertarikan dan ekonomi berdasarkan komoditas memisahkan manusia dengan menekan perbedaan mereka.
Era Media baru menurut Mark Poster dalam bukunya The Second Media Age dalam Little John, yang menandai periode baru di mana teknologi interaktif dan komunikasi jaringan, khususnya dunia maya akan mengubah masyarakat.
Menurutnya pada era Media kedua, digambarkan sebagai (1) desentralisasi;(2) dua arah; (3) di luar kendali situasi (4) mengangkat kesadaran individu (5) orientasi individu.

Pierre Levy dalam bukunya yang berjudul Cyberculture, memandang World Wide Web sebagai sebuah lingkungan informasi yang terbukam fleksibel dan dinamis, yang memungkinkan manusia mengembangkan orientasi pengetahuan yang baru dan juga terlibat dalam dunia demokratis tentang pembagian mutual dan pemberian kuasa yang lebih interaktif dan berdasarkan pada masyarakat.

Dunia maya memberikan tempat pertemuan semu yang memperluas dunia sosial, menciptakan peluang pengetahuan baru dan menyediankan untuk berbagi pandangan luas.


----to be continued

Komentar