Ku bolak balik majalah perempuan itu, covernya selalu menarik dengan penampilan model yang menggenakan mode terkini.
. Mulai ku buka halaman demi halaman dan membacanya dengan seksama. Entah mengapa setelah aku membaca majalah ini aku seolah tak mengenali aku sebagai perempuan. Perempuan yang aku baca di majalah telah di konstruksi sedemikian rupa dengan berbagai label. Label harus kurus, harus tampil menarik, harus nampak sempurna dengan keahlian padu padan busana dan merapikan meja untuk makan keluarga. Perempuan sosok yang multitasking tidak bisa dikerdilkan, beberapa perempuan yang saya tanya secara random menyebutkan alasannya membaca majalah perempuan karena mencari konten yang ia perlukan terutama dalam hal fashion. Dalam kecantikan ada yang ambigu di konten majalah Perempuan, disatu sisi melakukan upaya untuk pemberdayaan perempuan tapi disisi lain memperdaya perempuan dengan segala macam produk kecantikan dan gaya penampilan sehingga dalam mindset perempuan tetap menjadi obyek yang 'didandani' sesuai dengan kepentingan kapital. Marjinalisasi perempuan di dalam produksi dan dominasi sebagai obyek tontonan sering menjadi ideologi utama media-media , termasuk di Indonesia. Erica Carter mengatakan, bahwa perempuan marjinal dan subordinat di dalam bidang ‘budaya kerja maskulin’ (kelas pekerja) akan tetapi, mereka dibentuk oleh ideologi masyarakat patriarki untuk menjadi dominan di bidang subordinat, yaitu sebagai obyek konsumsi (konsumer). Pria indentik dengan ‘produksi’ (pabrik, teknologi, manajemen) sedangan perempuan identik dengan konsumsi (belanja, mal, dapur). Penggunaan kekuasaan ini untuk mempertahankan hegemoni budaya adalah bagian dari wacana media yang bersifat patriarki. Sementara, perjuangan untuk merebut ‘kekuasaan’ ini adalah bagian dari perjuangan perempuan. Perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan posisi yang sejajar dengan laki-laki dalam ‘kerja’ (ekonomi) mempunyai raison de’etre yang sama dengan perjuangan perempuan untuk mendapatkan ‘citra’sejajar dengan laki-laki di dalam media. Oleh Naomi Wolf (1997:143) media massa menimbulkan dampak atau konsekuensi bagi kaum perempuan ; Pertama, Media massa mematikan perdebatan, membuat perempuan jadi macet secara politis; Kedua, saat para redaktur media massa ‘membolos’ agar tidak usah meliput isu-isu yang mempengaruhi lebih dari separuh pembaca, pendengar atau pemirsa; Ketiga, bias ini secara khusus mengolok-olok gerakan perempuan, dan akibatnya mengasingkan perempuan pada umumnya dari wakil-wakil mereka di lembaga-lembaga demokrasi; Keempat, lantaran isu-isu yang berpengaruh pada perempuan hampir tidak beroleh ruang publik yang bisa lolos ke gelanggang politik jadi dihargai terlalu tinggi, meski komentar-komentar itu tidak ‘berbudi bahasa’, ‘tidak ada nuansa’, tidak melalui tanya jawab silang. Kritik dan penelitian media mengenai representasi perempuan dalam media menunjukkan potret suram perempuan dalam media. Teori kritis feminis mampu mengeksplorasi makna konsep –konsep gender. Teori feminis mengamati bahwa banyak aspek kehidupan dari sex biologis dipahami dalam pengertian kualitas gender, termasuk bahasa, peran keluarga, pendidikan,sosialisasi dan sebagianya. Kritik feminis bertujuan untuk membongkar kekuasaan dan batas-batas pembagian kekuasaan itu. Gender merupakan konstruksi yang,meskipun bermanfaat, didominasi oleh bias pria dan cenderung opresif terhadap perempuan. Kritik kaum feminis dalam studi komunikasi membedah cara-cara berlangsungnya bias bahasa pria yang mempengaruhi hubungan diantara jenis kelamin, membongkar cara-cara beroperasinya dominasi laki-laki yang menghalangi komunikasi kaum perempuan, cara-cara perempuan diakomodasi dan disingkirkan melalui pola-pola wicara bahasa laki-laki, kekuasaan dari bentuk-bentuk komunikasi feminine, dan lain-lain. Media dapat menginformasikan hal-hal yang terdapat dalam pranata sosial dan hal apa saja yang dianggap baik oleh masyarakat. Posisi perempuan dalam media masih berpegang kepada gagasan bahwa media adalah kerajaan pria dan bercorak patriakal, media tidak segan-segan memberikan wacana yang tidak menyenangkan terhadap perempuan namun secara sosial masyarakat patriarki menjadi hal yang ‘dibangun’ dalam benak baik perempuan maupun laki-laki. Didalam masyarakat tontonan, perempuan mempunyai fungsi dominan sebagai pembentuk citra dan tanda berbagai komoditi. Masyarakat tontonan menurut Guy Debord yang dikutip dari Yasraf Amir Piliang ( Ibrahim & Suranto, 1998 : xiv), adalah masyarakat yang didalamnya setiap sisi kehigupan menjadi komoditi, dan setiap komoditi tersebut menjadi “tontonan’. Sejarah tubuh perempuan dalam ekonomi politik kapitalisme adalah sejarah pemenjaraannya sebagai ‘tanda’ atau fragmen-fragmen tanda. Kapitalisme ‘membebaskan ‘ tubuh perempuan dari ‘tanda-tanda’ dan indentitas tradisionalnya. Fungsi tubuh perempuan telah bergeser dari fungsi organis kearah fungsi ekonomi politik, khususnya fungsi ’tanda’. Didalam wacana media, perempuan diposisikan sebagai obyek bukan subyek pengguna bahasa, melainkan sebagai obyek tanda yang dimasukkan ke dalam ‘sistem tanda’ di dalam sistem komunikasi ekonomi kapitalisme. Media menjadikan tubuh perempuan atau fragmen-fragmen tubuh sebagai ‘penanda’ yang dikaitkan dengan makna atau ‘penanda’ tertentu, sesuai dengan tujuan ekonomi politik. Kamla Bahsin (Jurnal Perempuan,1998 : 11) mengamati media tidak saja mempengaruhi citra sosial perempuan, tetapi juga citra dirinya. Kebanyakan perempuan itu sendiri adalah konsumen yang tidak kritis terhadap media yang anti perempuan. Media (jadinya) berdampak pada proses sosialisasi perempuan, mempengaruhi pilihan-pilihan mereka sekaitan dengan apa yang mereka pakai dan konsumsikan, dan sekaitan dengan perilaku mereka, apa yang mereka pelajari, impikan, aspirasikan dan pada akhirnya, terhadap apa jadinya mereka sebagai manusia. Media komunikasi bertujuan untuk menyampaikan informasi dengan benar secara efektif dan efisien. Pada prakteknya apa yang disebut kebenaran sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan. Kepentingan survival dari media terkadang mempengaruhi bagaimana berita tersebut dimuat, hingga muncul adanya kepentingan “kebenaran milik perusahaan” yang akan menjadi acuan dari realitas-realitas yang akan dimunculkan dalam sebuah berita. Sudut pandang feminis, tentang media melahirkan pertanyaan mengenai citra dan representasi perempuan yang dikonstruksi oleh media didalam sistem produksi dan reproduksi yang patriakal. Media juga menciptakan realitas, tidak hanya semata-mata sarana penyampaian informasi. Penelitian Feminis mengangkat konsep-konsep semiotik dan psikoanalisis serta metode-metode ilmu-ilmu sosial untuk menganalisis bagaimana media merepresentasikan perempuan. Tantangan bagi peneliti dalam bidang ilmu komunikasi yang memiliki konsen terhadap media dan perempuan untuk mencermati lebih dalam mengenai konten media yang memiliki segmen pembaca perempuan, pola hubungan antara pembaca dengan media yang ia baca dan bagaimana pembaca memaknai media tersebut bagi kehidupan perempuan. Sudahkah perempuan di tempatkan sepadan dan equal di medianya sendiri ? #perempuan #majalah #feminis
. Mulai ku buka halaman demi halaman dan membacanya dengan seksama. Entah mengapa setelah aku membaca majalah ini aku seolah tak mengenali aku sebagai perempuan. Perempuan yang aku baca di majalah telah di konstruksi sedemikian rupa dengan berbagai label. Label harus kurus, harus tampil menarik, harus nampak sempurna dengan keahlian padu padan busana dan merapikan meja untuk makan keluarga. Perempuan sosok yang multitasking tidak bisa dikerdilkan, beberapa perempuan yang saya tanya secara random menyebutkan alasannya membaca majalah perempuan karena mencari konten yang ia perlukan terutama dalam hal fashion. Dalam kecantikan ada yang ambigu di konten majalah Perempuan, disatu sisi melakukan upaya untuk pemberdayaan perempuan tapi disisi lain memperdaya perempuan dengan segala macam produk kecantikan dan gaya penampilan sehingga dalam mindset perempuan tetap menjadi obyek yang 'didandani' sesuai dengan kepentingan kapital. Marjinalisasi perempuan di dalam produksi dan dominasi sebagai obyek tontonan sering menjadi ideologi utama media-media , termasuk di Indonesia. Erica Carter mengatakan, bahwa perempuan marjinal dan subordinat di dalam bidang ‘budaya kerja maskulin’ (kelas pekerja) akan tetapi, mereka dibentuk oleh ideologi masyarakat patriarki untuk menjadi dominan di bidang subordinat, yaitu sebagai obyek konsumsi (konsumer). Pria indentik dengan ‘produksi’ (pabrik, teknologi, manajemen) sedangan perempuan identik dengan konsumsi (belanja, mal, dapur). Penggunaan kekuasaan ini untuk mempertahankan hegemoni budaya adalah bagian dari wacana media yang bersifat patriarki. Sementara, perjuangan untuk merebut ‘kekuasaan’ ini adalah bagian dari perjuangan perempuan. Perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan posisi yang sejajar dengan laki-laki dalam ‘kerja’ (ekonomi) mempunyai raison de’etre yang sama dengan perjuangan perempuan untuk mendapatkan ‘citra’sejajar dengan laki-laki di dalam media. Oleh Naomi Wolf (1997:143) media massa menimbulkan dampak atau konsekuensi bagi kaum perempuan ; Pertama, Media massa mematikan perdebatan, membuat perempuan jadi macet secara politis; Kedua, saat para redaktur media massa ‘membolos’ agar tidak usah meliput isu-isu yang mempengaruhi lebih dari separuh pembaca, pendengar atau pemirsa; Ketiga, bias ini secara khusus mengolok-olok gerakan perempuan, dan akibatnya mengasingkan perempuan pada umumnya dari wakil-wakil mereka di lembaga-lembaga demokrasi; Keempat, lantaran isu-isu yang berpengaruh pada perempuan hampir tidak beroleh ruang publik yang bisa lolos ke gelanggang politik jadi dihargai terlalu tinggi, meski komentar-komentar itu tidak ‘berbudi bahasa’, ‘tidak ada nuansa’, tidak melalui tanya jawab silang. Kritik dan penelitian media mengenai representasi perempuan dalam media menunjukkan potret suram perempuan dalam media. Teori kritis feminis mampu mengeksplorasi makna konsep –konsep gender. Teori feminis mengamati bahwa banyak aspek kehidupan dari sex biologis dipahami dalam pengertian kualitas gender, termasuk bahasa, peran keluarga, pendidikan,sosialisasi dan sebagianya. Kritik feminis bertujuan untuk membongkar kekuasaan dan batas-batas pembagian kekuasaan itu. Gender merupakan konstruksi yang,meskipun bermanfaat, didominasi oleh bias pria dan cenderung opresif terhadap perempuan. Kritik kaum feminis dalam studi komunikasi membedah cara-cara berlangsungnya bias bahasa pria yang mempengaruhi hubungan diantara jenis kelamin, membongkar cara-cara beroperasinya dominasi laki-laki yang menghalangi komunikasi kaum perempuan, cara-cara perempuan diakomodasi dan disingkirkan melalui pola-pola wicara bahasa laki-laki, kekuasaan dari bentuk-bentuk komunikasi feminine, dan lain-lain. Media dapat menginformasikan hal-hal yang terdapat dalam pranata sosial dan hal apa saja yang dianggap baik oleh masyarakat. Posisi perempuan dalam media masih berpegang kepada gagasan bahwa media adalah kerajaan pria dan bercorak patriakal, media tidak segan-segan memberikan wacana yang tidak menyenangkan terhadap perempuan namun secara sosial masyarakat patriarki menjadi hal yang ‘dibangun’ dalam benak baik perempuan maupun laki-laki. Didalam masyarakat tontonan, perempuan mempunyai fungsi dominan sebagai pembentuk citra dan tanda berbagai komoditi. Masyarakat tontonan menurut Guy Debord yang dikutip dari Yasraf Amir Piliang ( Ibrahim & Suranto, 1998 : xiv), adalah masyarakat yang didalamnya setiap sisi kehigupan menjadi komoditi, dan setiap komoditi tersebut menjadi “tontonan’. Sejarah tubuh perempuan dalam ekonomi politik kapitalisme adalah sejarah pemenjaraannya sebagai ‘tanda’ atau fragmen-fragmen tanda. Kapitalisme ‘membebaskan ‘ tubuh perempuan dari ‘tanda-tanda’ dan indentitas tradisionalnya. Fungsi tubuh perempuan telah bergeser dari fungsi organis kearah fungsi ekonomi politik, khususnya fungsi ’tanda’. Didalam wacana media, perempuan diposisikan sebagai obyek bukan subyek pengguna bahasa, melainkan sebagai obyek tanda yang dimasukkan ke dalam ‘sistem tanda’ di dalam sistem komunikasi ekonomi kapitalisme. Media menjadikan tubuh perempuan atau fragmen-fragmen tubuh sebagai ‘penanda’ yang dikaitkan dengan makna atau ‘penanda’ tertentu, sesuai dengan tujuan ekonomi politik. Kamla Bahsin (Jurnal Perempuan,1998 : 11) mengamati media tidak saja mempengaruhi citra sosial perempuan, tetapi juga citra dirinya. Kebanyakan perempuan itu sendiri adalah konsumen yang tidak kritis terhadap media yang anti perempuan. Media (jadinya) berdampak pada proses sosialisasi perempuan, mempengaruhi pilihan-pilihan mereka sekaitan dengan apa yang mereka pakai dan konsumsikan, dan sekaitan dengan perilaku mereka, apa yang mereka pelajari, impikan, aspirasikan dan pada akhirnya, terhadap apa jadinya mereka sebagai manusia. Media komunikasi bertujuan untuk menyampaikan informasi dengan benar secara efektif dan efisien. Pada prakteknya apa yang disebut kebenaran sangat ditentukan oleh jalinan banyak kepentingan. Kepentingan survival dari media terkadang mempengaruhi bagaimana berita tersebut dimuat, hingga muncul adanya kepentingan “kebenaran milik perusahaan” yang akan menjadi acuan dari realitas-realitas yang akan dimunculkan dalam sebuah berita. Sudut pandang feminis, tentang media melahirkan pertanyaan mengenai citra dan representasi perempuan yang dikonstruksi oleh media didalam sistem produksi dan reproduksi yang patriakal. Media juga menciptakan realitas, tidak hanya semata-mata sarana penyampaian informasi. Penelitian Feminis mengangkat konsep-konsep semiotik dan psikoanalisis serta metode-metode ilmu-ilmu sosial untuk menganalisis bagaimana media merepresentasikan perempuan. Tantangan bagi peneliti dalam bidang ilmu komunikasi yang memiliki konsen terhadap media dan perempuan untuk mencermati lebih dalam mengenai konten media yang memiliki segmen pembaca perempuan, pola hubungan antara pembaca dengan media yang ia baca dan bagaimana pembaca memaknai media tersebut bagi kehidupan perempuan. Sudahkah perempuan di tempatkan sepadan dan equal di medianya sendiri ? #perempuan #majalah #feminis
Komentar